Arsip Blog

Wanita Syiah Makassar Ajak Zina Seorang Ikhwan

SUATU siang pada bulan agustus 2010, seorang ikhwan –sebut saja namanya Haidar- masuk ke dalam warung internet (warnet) yang terletak tidak jauh dari Kampus UNISMUH (Universitas Muhammadiyah) Makassar untuk melakukan browsing, buka facebook, googling, dan sebagainya.
 
Setelah laman facebook miliknya terbuka, mahasiswa semester 3 Ma’had al-Birr UNISMUH Makassar itu tak menyangka mendapatkan permintaan pertemanan dari seorang akhwat yang bernama Marlina (nama samaran). Dikatakan akhwat karena tampilan foto profilnya mengenakan cadar.
 
Setelah permintaan pertemanannya diterima, Marlina segera ­memulai chatting dengan Haidar.
 
“Assalamu’alaikum”
 
“Wa’alaikumussalam”
 
“Kuliah dimana?, antum (kamu) kuliah di Ma’had al-Birr?”
 
“Anti (anda) tahu dari mana?”
 
“Ini saya lagi lihat profil kamu.”
 
“Tahu profil saya dari mana?”
 
“Saya lihat sendiri kok”
 
“Kamu lihat dimana?”
 
“Saya di samping kamu”
 
“Samping mana?”
 
Tanpa menjawab pertanyaan terakhir dari Haidar. Akhwat itu langsung keluar dari biliknya menuju bilik Haidar yang ada di sampingnya. Percakapan di dunia nyata pun dimulai.
 
Haidar kaget luar biasa. Gemetar. Keringat dingin pun bercucuran.
 
Dan tak disangka pula, akhwat Syiah itu lansung to the point.
 
“Antum (anda) mau kawin mut’ah?”
 
“Kenapa mau kawin mut’ah? Kenapa harus ana (saya) juga?”
 
“Ana barusan ini mau kawin mut’ah, dan ana maunya antum yang pertama kawin mut’ah dengan ana.”
 
Pada Saat yang menegangkan itu, Marlina langsung membuka cadarnya di hadapan Haidar. Haidar pun kaget bukan kepalang. “Cantiknya bukan main, Masya Allah. Bibirnya seksi. Badannya molek. Dan parfumnya sangat wangi” Gumam Haidar. Marlina ternyata berpakaian biasa (bukan jilbab besar), ia memakai kemeja putih, rok berwarna hitam, namun ia menggunakan cadar.
 
Marlina pun melanjutkan ajakannya, “Kalau antum mau, nanti ana ajak ke murabbi ana untuk bisa dapat rekomendasi dari murabbiku.”
 
Haidar semakin kaget, dan akhirnya ia memutuskan untuk pergi. Namun Marlina tdak berhenti sampai disitu. Ia menahan Haidar dengan memegang tangannya, “Kenapa kita’ (kamu) tidak mau kah?,” “Saya buru-buru, karena sebentar lagi jam kuliah saya siang ini.” Jawab Haidar seraya meninggalkan wanita Syiah itu.
 
Marlina hanya bisa diam berdiri melihat Haidar beranjak meninggalkannya. Ajakannya ditolak.
 
“Saya pikir ini iblis, karena nggak mungkin lah cewek secantik dia datang mengajak saya kawin mut’ah. Saking kagetnya saya, saya pun pergi tinggalkan dia untuk meninggalkan godaan setan yang sangat megejutkan ini.” Haidar menutup kisah uniknya pada saya.
 
Seperti perkataan Haidar di atas, martabat dan harga diri wanita ini sudah jatuh. Dalam ajaran Islam, kedudukan wanita sangatlah mulia. Mereka dihormati dan ditempatkan pada kedudukannya yang tinggi. Salah satu contohnya adalah tata cara pernikahan Islami. Dimana wanitalah yang dilamar oleh lelaki. Bukan sebaliknya. Namun dalam ajaran Syiah, semuanya bisa terbalik. Wanita yang melamar lelaki untuk berzina. Na’udzubillah
 
Menurut Haidar, cara seperti ini adalah salah satu trik orang-orang Syiah dalam melancarkan propaganda ajaran sesatnya. Mengajak ikhwan yang bermanhaj salaf untuk melakukan mut’ah. Yang akhirnya jika tawaran mut’ah itu diterima, bisa menjadi bahan ejekan dan bumerang. Bisa saja mereka berkata, “Kalian haramkan mut’ah, tapi ternyata kalau diajak kawin mut’ah mau juga.”
nikah-mutah
 
Semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran berharga buat kita semua, jangan sampai kita termakan bujuk rayuan mereka dan masuk dalam kebinasaan. 
 

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..

Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35

Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..

Baarakallahu Fiikum..

AFWAN, IKHWAN ITU PACAR SAYA

Gedung Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tampak tinggi menjulang, bergaya timur tengah, begitu indah di pandang mata. Di sini mahasiswa terlihat lalu-lalang mengejar waktu yang memburu. Sebagian masih asyik bersenda gurau di basement kantin, ada yang baca koran, berdiskusi, menyiapkan acara di masing-masing BEM, atau sekedar duduk melepas penat. Sedangkan Leni dan Riri asyik menyeruput jus sirsak pesanan di kantin.
 
Mahasiswa yang terkenal aktif di BEMJ Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) ini, juga terkenal aktif memburu berita percintaan di kalangan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, bahkan majalah Jeda pernah ingin memakainya, maklum Ratu Gosip. Ketika ada kabar yang belum tentu kebenarannya, ia justru sudah mensosialisasikan ke setiap jengkal kampus. Walaupun kerap salah dan informasinya merugikan orang lain, ia tidak juga kapok. Ya namanya berita kadang benar kadang salah, begitu gumamnya.
 
Hari ini benar-benar ada berita heboh yang akan menggelegar, seorang akhwat kedapatan berduaan dengan seorang cowok. Leni yang menyebar kabar itu. Tak pelak, ia yang begitu mengagumi seniornya ini yang terkenal cantik dan berkepribadian menarik, langsung luntur dalam bayangan teladannya.
 
“Eh Riri, Masya Allah, Gue benar-benar gak nyangka Ri. Ka Ica yang begitu gua kagumi sosoknya. Ah gua benar-benar gak bisa ngomong Ri?”
 
“Slow dong Man…. Slow…, Ada apa Len, kamu mah bikin aku penasaran aja.”
 
Leni geleng-geleng kepala, mulutnya terasa tertutup rapat untuk menghembuskan barang satu kata pun. “Oh My God..”
 
“Lho emang kenapa sih Len?”
 
“Gua harap lo jangan kaget atas apa yang gua lihat tadi?
 
Riri mengangguk..
 
“Gua baru aja pengen ke kamar mandi lantai 7.”
 
“Yang deket Turki Corner itu?” Potong Riri.
 
“That’s it!! Gua lihat sekilas Kak Ica lagi berduaan sama seorang cowok?”
 
“Ah biasa aja kali, mungkin ada keperluan kali. Lagipula juga lo lihatnya sekilas,” sanggah Riri tak mudah percaya.
 
Leni menggebrak meja dengan emosional dan berkata, “Eh masih mending kalau berduaan aja, ini pake pegang-pegangan tangan, eh emang gua gak lihat jelas muka cowoknya, tapi itu tetap cowok.”
 
“Astaghfirullah aladzim, sumpeh lo?”
 
Leni mengangguk kecewa.
 
Keesokan harinya..,
 
 
Ka Ica yang terkenal berkepribadian santun di seantero UIN Jakarta, sedang bersiap-siap menuju kampus, ia kunci rapat kamar kosnya. Tasnya sangat berat, karena di dalamnya terselib buku Majmu FatawaIbnu Taimiyyah.
 
“Sini aku yang bawa sayang,” ucap seorang cowok berperawakan sedang. Di depan kos mereka menangkring motor Honda tahun 80an.
 
“Ah tidak usah, aku aja yang bawa. Kamu langsung balik aja, gak enak nanti dilihat banyak orang.”
 
“Ya sudah malam minggu Ukhti ada di rumah kan? Aku apel ya?”
 
“Iya dong say, kan sudah jatah kamu mulai saat ini?” belay Ka Ica pada pipi sang cowok berkulit sawo mentah.
 
“Hmm kita nonton apa Ukh?”
 
“Hafalan Solat Delisa saja,”
 
“Oke deh..” ucap pasang cowok sambil memakai jaket hitam.
 
Leni dan Riri yang hobinya nonton detektif Konan, ternyata bersembunyi di balik Rental Komputer Ijul yang tak jauh berjarak dari kost Kak Ica, yang sering diebut “Gua Hira” karena tempatnya nyempil.
 
“Lailahailallah, Laknatullah benar-benar Ukh Ica, ternyata apa katamu benar Len. Aku gak habis pikir,” kaget Riri.
 
“Ssssstttt, entar kita ketahuan, lo diam aja dulu. Gua udah siapain kamera untuk merekam ini semua,” gusar Leni.
 
“Hehe.. gak percuma kamu ikut seminar sehari inteligensi. By the way, kayaknya cowoknya Ikhwan juga?”
 
“Ah kalo Ikhwan moralnya begitu, sorry lah yau..” tampik Leni.
 
Ditengah pembicaraan itu, Riri mencoba melongok lebih jauh. Ia ingin memastikan siapakah gerangan dibalik pria yang bersama Ica. Namun tanpa disadari, kaki kirinya yang mencoba maju tak sengaja menginjak batang kayu yang mulai reot.
 
“Guuubbrrraakkk..!!”
 
Mata Kak Ica spontan mengikuti arah suara yang mengagetkan.
 
Riri dan Lani panik kalang kabut, mereka cepat-cepat memepet tubuh hingga balik tembok.
 
Kak Ica menghampiri sumber suara, radiusnya sekitar 7 meter saja dari kost. Ia berjalan cepat karena takut ada apa-apa, atau mungkin maling motor yang marak di Ciputat. Ia celingak-celinguk. Matanya terus mendekati tubuh Leni dan Riri yang semakin berlindung di balik dinding rapuh.
 
Leni dan Riri, sama-sama menahan suara agar tidak kecium Kak Ica. Namun Leni yang lebih kacau, ia ingin sekali bersin, karena hidungnya kemasukan debu dari kayu reot yang patah.
 
Jari Riri sesekali mencubit paha Leni agar menahan bersinnya.
 
Kak Ica mendekati ke mereka, langkah gontai semakin jelas terdengar.
 
Riri begitu kencang mencubit Leni. Kalau cubitan yang ini, murni karena Riri sangat tegang.
 
Dan…. “Hay kak, lagi ngapain?” Tanya Ijul yang muncul dari Rental komputernya.
 
“Eh Ijul.. oya gimana ketikan Kakak udah beres?” selidik Kak Ica
 
“Dikit lagi kak, ini tinggal ngerjain SPSS-nya aja?” jawab Ijul.
 
“Syukron ya Jul. Oya Jul kakak buru-buru nih mau ke kampus, ada janji sama teman bikin proposal untuk BEM.”
 
“Tapi entar dulu kak, oya kajian Islam-nya jadi gak entar malam?”
 
“Insya Allah, kamu sudah dua kali gak ikutan lho, yee… curang”
 
“Pematerinya siapa kak?
 
”Ustadz Rahman, sekarang masuk bahasan Ibnu Qayyim Al Jauzi,”
 
“Insya Allah deh kak dateng,”
 
“ÓK aku tunggu lho, kalau gak aku hipnotis,”
 
“Hehehe galak amat, dimemori Quantum aja kak,”
 
“Afwan”
 
Leni dan Riri masih bersembunyi di balik tembok. Kaki mereka mulai gemetaran, Tangan Riri bak diikat, karena sedari tadi menyumpal mulut Leni. Ketika Kak Ica pergi barulah mereka tenang. Dan “Haahaahsssssyyyyyyyyyiiimmmm,” bersin Leni menggelegar.
 
Hari ini UIN terasa sumpek, hari kamis. Seperti biasa banyak sekali seminar dan kegiatan mahasiswa, Stan-stan ramai bergeletak di parkir Student Centre. Dari mulai menawarkan kegiatan pengisi jiwa seperti training mahasiswa. Dari mulai jualan bunga lengkap dengan potnya demi menyambut penghijauan, sampai bazar-bazar buku yang harganya turun total. Ica coba mampir, ia dengan serius membolak-balik buku Abul Ala al Maududi edisi lama.
 
Semenit berlalu, gantian ia sambangi temannya yang menjaga stan, Dela namanya. Dela kebagian menjaga stan TOEFL yang diselenggarakan UKM Bahasa Flat. Ia terlibat pembicaraan serius. Dari kejauhan terlihat Dela berusaha menahan tawa, ia tutup bibir kecilnya dengan tangan. Senyum menyeringai menyiratkan ada sesuatu kelucuan mendera.
 
Sedangkan Leni dan Riri berusaha mengejar lift. “Wait…wait..”
 
“Ih Si Leni buru-buru amat,“ sergah Rangga.
 
“Eh gua mau ngomong sama lo.”
 
“Ngomong apa Len.”
 
“Gawat… ini gawat,”
 
“Ih Si Leni gawat apanya?” Tanya Rangga, senior kampus yang terkenal alim.
 
Leni menceritakan panjang lebar kejadian yang membuatnya curiga bahwa Kak Ica mulai berani berdua-duaan sampai pegangan mesra sama cowok. Baginya perbuatan Kak Ica itu mencoreng nama baik BPI. Ia tidak mau nama BPI tergores. Apa jadinya kata dunia ada mahasiswi alim di BPI yang kumpul kebo. Lagipula apa jadinya mahasiswi yang populis sebagai “artis peradaban” tidak tahan terhadap belaian pria.
 
Rangga didera shock theraphy. Jantungnya bedegup atas cerita Leni. Ia sangat tidak menyangka, atas tingkah nista Ica tersebut. Leni benar-benar berhasil menyihir Rangga.
 
Lift sampai lantai 5, seorang mahasiswa masuk. Wajahnya bersih, tampan, dan berpenampilan rapih. Sontak ia berhadapan dengan Leni yang tepat berdiri di depan lift. Leni bergeser.
 
Matanya mulai nakal, ia perhatikan sesekali sang mahasiswa. Dalam hati Leni berkata “Masya Allah cucok juga nih cowok”.
 
Di sisi lain, isu percintaan Kak Ica sudah menyebar ke seluruh mahasiswa BKI. Dari mulai semester satu, tiga, lima, tujuh, dan sembilan. Bahkan beberapa dosen dan kajur kebagian infonya. Ini semata-mata karena Kak Ica memang bak seleb di BKI. Jadilah informasi cinta Kak Ica pasti laku bak kacang goreng. Beberapa orang masih penasaran. Mereka mencoba mengklarifikasi ini ke Ica, namun HP Ica tidak aktif, kost Gua Hira-nya juga terkunci kuat dengan dua gembok.
 
****
 
Hari ini Forum Studi Konseling (Forsik)digelar. Para peserta tumplek ruah megisi Ruang 5.01 di lantai 5. Pembicara belum juga kelihatan batang hidungnya. Namun entah kenapa Leni punya rencana lain, ia datang ke Forsik untuk memberi bukti skandal. Ia siapkan rekaman itu, apalagi diskusi Forsik kerap memakai infokus. So Leni ingin menyiapkan kejutan.
 
Akan tetapi Leni agak kesal, Kak Ica ternyata tidak ikut Forsik. Beberapa teman-teman juga kecewa Ica tidak datang. Padahal kedatangan Ica begitu ditunggu untuk menjelaskan lelucon dari perbuatannya selama ini.
 
Di kursi belakang, bukannya serius untuk mendengarkan diskusi, tapi ia malah sibuk memikirkan situasi Kak Ica berada saat ini. Ketika melamun, pembicara datang dengan mengenakan jas coklat muda. Materi kali ini tentang Konseling ala Rasulullah SAW.
 
Ketika pembicara duduk di depan, sontak Leni tidak mengira, “Oh my God inikan cowok yang tadi satu lift”. Leni betul-betul tidak bisa menahan pandangannya. Ia tatap lekat-lekat wajah pria tampan itu; sejuk, ramah senyum, rapih, dan bersih. “Ah beruntung sekali wanita yang dipinangnya,” gumam Leni dalam hati.
 
Ia menelan ludah, ada gurat cinta di hatinya. Yup cinta pada pandangan pertama. Tutur bahsanya enak didengar ketika menjelaskan. Intonasi suaranya jelas. Ah Leni benar-benar terbuai. So untuk melampiaskan kesukaanya, Leni sengaja bertanya banyak hal tentang tema yang sedang dibicarakan.
 
Makin bertambah lipat hatinya, cara menjawabnya begitu detail, memang pintar sekali. Leni berpikir dua kali untuk mengumbar skandal Kak Ica, bisa hancur wibawanya bila dilihat sang pembicara. Namun sesekali hatinya juga berontak. Ia pikir bukankah ini justru menjadi dakwah untuk memberi tahu atau tepatnya memberi pelajaran pada Ica bahwa caranya salah berhubungan dengan seorang pria. Sekalipun Ica adalah sosok mahasiswi teladan baginya. Jika tidak diumbar sekarang, malah akan menjadi boomerang baginya, bahwa ia adalah tukang gossip, penyebar berita palsu, tukang fitnah.
 
“Astaghfirullaaladzim,” cetusnya.
 
Ketika Forsik selesai dan pembicara izin pamit, Leni menahan teman-temannya untuk tetap duduk di tempat. Ia siapkan infokus. Sebelumnya ia berdiri di podium, sekedar menjelaskan apa yang akan dilihat teman-temannya nanti, murni sebagai rasa cintanya pada Kak Ica, sesama teman dan keluarga besar BKI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
 
Teman-teman yang lain gantian menyibir Leni, “Ya sudah kamu tunjukkan kalau kamu memang tidak menyebar berita bohong, karena tidak mungkin seorang Ica melakukan perbuatan nista itu,” sergah Rangga.
 
“Betul kata Rangga, istighfar Leni, apa yang kamu katakan akan dicatat oleh Allah,” umbar yang lain.
 
Suasana menjadi tegang, Leni tidak sendirian ada teman-teman lainnya yang akan mem-backup. “Saya sepakat sama Leni, lebih baik kita buktikan saja siapa yang benar dan siapa yang salah, ini kan buat kebaikan jurusan kita juga. Kita akan menarik pelajaran dari ini semua, bahwa kadang tampilan bisa menipu. Ingat kawan!!” Bela Riri, teman detektif Leni.
 
“Astaghfirullah, apa maksud kamu Riri?” tanya yang lain.
 
“Iya saya juga satu suara sama Riri, kita berbicara fakta nanatinya, bukan memandang karena Ica adalah bidadari di kampus kita, teman kesayangan kita semua,” seloroh Mahasiswa yang duduk di samping Riri.
 
“Sudah.. sudah… langsung saja Leni kamu putar,” perintah Rangga.
 
Leni tanpa panjang kata mulai memasukkan CD ke Laptop. Dan gambar yang diceritakkan Leni benar benar kenyataan.
 
“Sini aku yang bawa sayang”
 
“Ah tidak usah, aku aja yang bawa, kamu langsung aja balik, gak enak nanti dilihat banyak orang”
 
“Ya sudah malam minggu Ukhti ada di rumah kan? Aku apel ya?”
 
“Iya dong say, kan sudah jatah kamu mulai saat ini?”
 
“Hmm kita nonton apa Ukh?”
 
“Hafalan Solat Delisa saja”
 
“Oke deh..”
 
Semua orang terperangah, “Masya Allah,” ucap Rangga.
 
“Astaghfirullah,” Ketus yang lain.
 
“Ahhh”
 
“Ini gila,” kata Riri.
 
“Imposibble,” ucap Novi.
 
Leni mulai buka suara di rerimbun gelengan kepala teman-teman. Rangga hanya menunduk malu. Novi menangis, ternyata Kak Ica yang rajin dakwah.. Ah begitu memalukan. Yang lain pun serupa.
 
“Jelas kan sekarang,” kata Leni dengan suara lantang.
 
Riri merasa puas. Dia lega kerja kerasnya bareng Leni membuahkan hasil.
 
“Ini mesti diproses,” keluh Novi kesal.
 
“Iya ini sudah memalukan kita semua. Kita sudah jatuh. Hanya karena seorang pria, tega sekali Kak Ica menyakiti kita semua. Ia yang tiap hari bicara aturan yang seharusnya antara pria dan wanita ternyata adalah pembohong, munafik. Hhh aku sudah curiga, tidak mungkin seorang wanita menahan rasa cintanya pada pria yang dicintainya. Persetan dengan simpan dalam hati.” Seruput Leni.
 
“Afwan, ikhwan yang itu pacar saya!!” suara Kak Ica dari balik tembok, begitu keras menghujam keheningan.
 
Semua mata terperangah ke arah Ica.
 
“Siapa yang bilang akhwat gak boleh pacaran?” tantang Ica
 
Novi yang satu aktivis dakwah dengan Ica menggelengkan kepala, dan hanya bisa berkata, “Kau sudah berubah Ukh, siapa pria itu? Apa maksud kamu?”
 
“Iya itu pacar aku Nov,” jawab Ica dengan senyum lebar.
 
Rangga terlihat bingung. Leni tidak paham.
 
“Ikhwan yang jadi pembicara tadi itu pacar saya lho hehehe,”
 
“Hehehe betul, aku jadi saksi kok jadian mereka. Wong lagi nembaknya, Dela yang mengantar ikhwannya,” ucap Dela yang tiba-tiba muncul.
 
“Mana cowoknya itu?” Kurang ajar betul dia,” gertak Novi.
 
“Ini lho pacarnya kak Ica, kebetulan ini kakak Dela juga,” Dela menarik sang ikhwan yang kembali masuk ke ruangan.
 
“Pacaran setelah nikah itu asyik lho. Aku gak takut lagi deket-deket sama si mas. Ini cincin nikah kita. Sebelumnya saya minta maaf karena belum sempat memberi tahu teman-teman. Saya tidak mau mengganggu aktivitas kita sekalian yang sebentar lagi UAS dan tengah sibuk karena penyelenggaraan CRUCIATUS, nah makanya sekarang setelah semuanya kelar, kita mau mengundang teman-teman sekalian. Ini undangannya, bagus kan??”
 
Novi langsung memeluk Ica sambil sesenggukan meneteskan air mata “Maafkan aku teman sejatiku, aku sudah suudzon padamu, kau yang sangat kubangga sebagai mahasiswa berprestasi di BKI. Ah subhanallah ternyata kamu sudah menikah Ca, Allah begitu menyangimu wahai wanita yang baik budinya. Kamu kemana selama ini Ca, kami semua mencemaskanmu?”
 
“Afwan Nov, aku sedang honeymoon, gak bisa diganggu. Ini baru pulang dari Gunung Sindur, biasa pengantin baru ada aja maunya.”
 
“Ih resek,” cubit Novi di pipi Ica.
 
“Makanya cepat nikah dong, Si Aa mau dikemanain teh?” gantian Ica yang menyubit pipi Novi.
 
“Si Aa siapa?” Novi balik menginjak kaki Ica.
 
“Aa Aa A… Ada dehhh,” canda Ica yang membuat Novi memunculkan senyuman manisnya.
 
Rangga lega, walau sedikit menyesal karena telat melamar. Akan tetapi, sebagai pria berpikiran dewasa, ia ikhlas karena Allah pasti memberi yang terbaik jika hambanya bertakwa. Begitulah Islam mengajarkan. Semua orang kini menyami Ica dan sang pacar.
 
Lalu bagaimana nasib Leni? Dengkul Leni langsung lemas, kemudian ia tergeletak pingsan karena shock. Sang pujaan ternyata sudah sah menjadi milik Ica. Keburukan dibalas kebaikan, sekarang giliran Ica yang sibuk mengurusi Leni agar cepat siuman. 

sumber : http://insyaallahislamjaya.blogspot.com/2012/02/afwan-ikhwan-itu-pacar-saya.html

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..

Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35

Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..

Baarakallahu Fiikum..

Kisah Nyata: Tukar Jodoh


Itulah jodoh…


kf-tulang-rusuk-takan-tertukarTak terduga, aneh, unik, bahkan terkadang lucu. Ada yang mendapatkannya dengan susah payah, ada juga yang tanpa susah mencari datang sendiri. Pun halnya diriku, hanya selang 3 hari ikhwan yang melamarku ditolak Bapak, aku mendapat ganti. Dan lucunya,  ikhwan pengganti itu juga usai ditolak lamarannya oleh akhwat lain. Dan tahukah Anda? Akhwat itu adalah sahabatku sendiri! Awalnya kami sama-sama tak tahu, baru setelah ia mengundangku dan aku berniat mengundangnya ke pernikahanku, pecahlah tawa kami. Masya Allah, kisah aneh dan lucu juga membuatku takjub. Karena kami menikah di hari yang sama meski di tempat berbeda…

***

Aku lahir dari keluarga yang awam dalam soal agama, meski muslim keluargaku hampir tak pernah menanamkan nilai-nilai agama, mau ngaji atau tidak tak masalah. Hamper seisi rumah shalat bolong-bolong. Maka tak mengherankan, standar sukses bagi bapak dan ibu adalah materi. Jilbab besar dan cadar bagi bapak dan ibu adalah hal menakutkan. Penghalang kesuksesan dunia dan karir kata mereka. Maka tak heran, beliau berdua keras menentangku. Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa bersabar dalam doa-doa aku. Lebih-lebih, karena aku masih sepenuhnya tergantung pada mereka.

Lulus kuliah aku mengajar di sebuah sekolah. Tahun berganti hingga suatu hari ada tawaran nikah datang dari seorang ikhwan. Setelah kubaca biodatanya, aku menerimanya dengan mengirim jawaban beberapa hari kemudian. Saat ikhwan datang memenuhi undangan orangtuaku sekaligus meminta izin bapak untuk menikahiku , bapak ternyata menolak sang ikhwan mentah-mentah karena pekerjaannya cuma “pedagang kaki lima”.

Padahal kalau bapak tahu yang sebenarnya, bahwa ikhwan itu bukan pedagang kaki lima “biasa”, tapi seorang “bos” yang punya 5 buah toko besar dengan belasan karyawan. Tak Cuma itu, ia juga punya beberapa indutri rumah tangga konveksi dan produk makanan ringan dengan puluhan karyawan. “kerendahan diri” ikhwan di depan bapak, membuat bapak menolaknya. Sedih? Ya, tentu saja. Aku sempat menangis dan kecewa pada bapak dan ibu. Akhirnya aku hanya bisa pada Allah. Semoga ikhwan sarjana S1, matang agamanya dan juga telah mapan datang melamarku.

Tiga hari kemudian ada tawaran menikah lagi. Meski tak seyakin yang pertama, aku menyambutnya lagi. Dengan bismillah kumulai ta’aruf, berharap yang terbaik. Ikhwan itu kata bapak lebih “menjanjikan” masa depan. Ikhwan itu seorang sarjana yang dipercaya membawahi beberapa usaha muluk teman bapaknya. Qodarullah, ikhwan itu bermobil saat ke rumah, meski dengan jujur menurutnya itu hanya mobil inventaris. Tapi begitulah, bagi bapak, secara materi ikhwan kali ini “sesuai seleranya”. Aku sebenarnya tak setuju dengan bapak karena mengutamakan “penampilan” luar, lebih-lebih materi.

Tapi aku memilihnya karena menurut ummahat comblangku dengan ikhwan , ikhwan itu InsyaAllah shalih, sabar, pinter, punya hafalan Al-Qur’an lumayan banyak, dan sayang dengan keluarga. Asal tahu saja, bapakku pun tak terlalu suka aku menikah dengan ikhwan bercelana cingkrang. Bahkan beliau pernah menawariku menikah dengan anak temannya, tapi aku menolaknya.

Hari H telah ditentukan. Tepatnya sepekan kemudian. Meski awalnya bapak tak mengizinkan secepat itu, beliau lebih senang kami tukar cincin dulu, pacaran dulu biar lebih tahu pribadi masing-masing. Tapi setelah dijelaskan bapak menerima. Dua hari sebelum hari H sahabatku satu tempat taklim datang, kami akhir-akhir ini memang jarang bertemu. Rupanya ia hendak mengundangku ke pernikahannya. Kami pun mengobrol, hingga aku menanyakan siapa ikhwan yang akan menikah dengannya. Aku sempat terkejut mendengarnya. Apalagi setelah ia menceritakan ikhwan,alamat, pekerjaandan sebagainya. Melihat aku terkejut dan senyum-senyum karibku penasaran.

“Anti kenal dia ya?” Aku hanya tersenyum

“Gantian cerita dong, calon Anti ikhwan mana?”

Secara singkat aku menceritakan calon suamiku. Sahabatku terkejut dan senyum-senyum mendengar siapa calon suamiku. Entah siapa yang memulai kami berdua tertawa terpingkal-pingkal, untung saja di dalam kamar dan rumah sepi.

“Subhanallah, aneh tapi nyata ya ukh. Kita tukaran jodoh”.

Penolakan kedua orang tua kami pada ikhwan pertama alasannya sama, tak  mau punya menantu “ikhwan” , pingin orang yang umum. Tapi qodarullah lamaran kedua pun sama-sama dari ikhwan, subhanallah, jodoh tak aakan kemana. Doa kami berdua terkabul, karena kami berharap kelak bila menikah bisa mendapat suami yang shalih. Alas an in itu dari orang tua, tak menghalangi Allah Ta’ala mengirim jodoh yang shalih buat kami. Insya Allah, walhamdulillah.

Dua hari kemudian kami sama-sama menikah. Tapi kami tak bisa saling menghadiri. Kami menikah di hari yang sama, aku sekitar jam 10 pagi, sahabatku ba’da zhuhur akad nikahnya. Meski tak bisa saling menghadiri kami saling mendoakan lewat sms. Silaturahmi kami pun kian akrab, kini kamisudah punya masing-masing tiga momongan. Semoga rumah tangga yang kami bangun ini langgeng dan semoga kami senantiasa bisa membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah.

Penulis: Ummu Arwa’

sumber : http://kisahromance.blogspot.com/2012/10/kisah-nyata-tukar-jodoh.html

Ipar Itu Adalah MAUT

iparKhalid duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang diliputi kesedihan dan kegalauan. Shaleh, kawannya, memperhatikan kegalauan dan kesedihan itu di wajahnya. Ia berdiri dari mejanya dan mendekati Khalid, lalu berkata padanya:

“Khalid, kita ini berteman layaknya bersaudara sejak sebelum kita sama-sama bekerja. Aku perhatikan sejak seminggu ini selalu termenung, tidak konsentrasi. Engkau kelihatan begitu galau dan bersedih…”

Khalid terdiam sejenak. Kemudian ia berkata:

“Terima kasih atas kepedulianmu, Shaleh…Aku merasa memang membutuhkan seseorang yang dapat mendengarkan masalah dan kegelisahanku, barangkali itu bisa membantuku untuk mencari jalan keluarnya…”

Khalid memperbaiki duduknya, lalu menuangkan segelas teh kepada kawannya, Shaleh. Kemudian ia berkata lagi:

“Masalahnya, wahai Shaleh, seperti yang engkau tahu aku sejak menikah 8 bulan lalu, aku dan istriku tinggal sendiri di sebuah rumah. Namun masalahnya adikku yang paling kecil, Hamd, yang berusia 20 tahun baru saja menyelesaikan SMA-nya dan diterima di salah satu universitas di sini. Dia akan datang satu atau dua minggu lagi untuk memulai kuliahnya. Ayah dan ibuku memintaku bahkan mendesakku agar Hamd dapat tinggal bersamaku di rumahku daripada ia harus tinggal di asrama mahasiswa bersama teman-temannya. Mereka takut nanti dia terseret mengikuti kawan-kawannya!

Aku menolak hal itu, karena kamu tahu kan bagaimana seorang pemuda yang sedang puber seperti itu. Keberadaannya di rumahku akan menjadi bahaya besar. Kita semua sudah melewati masa remaja seperti itu. Kita tahu betul bagaimana kondisinya. Apalagi aku terkadang keluar dari rumah, sementara ia akan tetap berada di kamarnya. Mungkin juga aku pergi untuk beberapa hari untuk urusan pekerjaan…dan banyak lagi…

Aku harus pula sampaikan padamu bahwa aku sudah menanyakan kepada salah seorang Syekh terkait masalah ini, dan beliau mengingatkanku untuk tidak mengizinkan siapapun, meski itu saudaraku sendiri untuk tinggal bersamaku dan bersama istriku di rumah. Beliau mengingatkanku tentang sabda NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Ipar itu adalah maut.”

Maksudnya bahwa hal paling berbahaya bagi seorang istri adalah kerabat-kerabat dekat sang suami, seperti saudara dan pamannya, karena mereka biasanya dengan mudah masuk ke dalam rumah. Dan tidak ada yang meragukan bahwa fitnah yang sangat besar dan berbahaya dapat terjadi di sini.

Lagi pula, engkau pasti tahu, wahai Shaleh, kita seringkali ingin berdua saja dengan istri di rumah agar kita bisa beristirahat bersamanya dengan selapang-lapangnya. Dan ini sudah pasti tidak bisa terwujud jika adikku, Hamd, tinggal bersama kami di rumah…”

Khalid terdiam sejenak. Ia meneguk teh yang ada di depannya. Kemudian ia melanjutkan kembali ucapannya:

“Aku sudah menjelaskan semuanya kepada ayah dan ibuku. Bahkan aku bersumpah bahwa yang aku inginkan adalah kebaikan untuk adikku, Hamd. Namun mereka justru marah kepadaku, mereka menyerangku di depan semua keluarga, menganggapku sudah durhaka, bahkan menyebutku berprasangka buruk kepada adikku, padahal ia menganggap istriku seperti kakaknya sendiri. Mereka mengira aku dengki pada adikku karena aku tidak menghendaki ia melanjutkan pendidikan tingginya…”

“Yang lebih berat dari itu semua, wahai Shaleh, adalah karena ayahku telah mengancamku dengan mengatakan bahwa ini akan menjadi citra buruk dan aib besar di tengah keluarga, karena bagaimana adikku bisa tinggal bersama orang lain sementara rumahku ada. Ayahku mengatakan: ‘Demi Allah, jika Hamd tidak tinggal bersamamu, aku dan ibumu akan marah padamu hingga kami mati. Kami tidak pernah mengenalmu sejak hari ini, dan kami akan berlepas diri darimu di dunia sebelum di akhirat…”

Khalid menundukkan kepalanya sejenak, lalu kembali berujar:

“Sekarang aku sungguh bingung tidak tahu berbuat apa. Dari satu sisi, aku ingin menyenangkan hati ayah dan ibuku, tapi di sisi lain aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan keluargaku. Nah, sekarang bagaimana pandanganmu, wahai Shaleh, terhadap masalah yang sangat berat ini?”

Shaleh memperbaiki duduknya. Ia kemudian mengatakan:

“Tentu engkau ingin mendengarkan pendapatku sejelas-jelasnya dalam masalah ini, bukan? Karenanya izinkan aku untuk mengatakan kepadamu, wahai Khalid, bahwa engkau benar-benar seorang peragu dan bimbang. Sebab jika tidak begitu, untuk apa semua persoalan dan masalah ini terjadi bersama kedua orang tuamu? Bukankah engkau tahu bahwa ridha Allah itu bergantung pada ridha kedua orang tua, begitu pula kemurkaan-Nya bergantung pada kemurkaan mereka berdua? Lagi pula jika adikmu tinggal serumah denganmu, ia akan membantumu menyelesaikan urusan rumah. Dan ketika engkau tidak ada di rumah untuk suatu urusan, ia akan menjaga rumahmu selama engkau pergi.

Shaleh sengaja diam sebentar. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Shaleh terhadap apa yang diucapkannya. Kemudian ia melanjutkan dengan mengatakan:

“Lagi pula aku ingin bertanya padamu: mengapa engkau berburuk sangka pada adikmu sendiri? Apa kamu lupa Allah melarang kita berburuk sangka kepada orang lain? Coba katakan padaku: bukankah engkau percaya dengan istrimu? Bukankah engkau percaya kepada adikmu?”

Khalid segera memotongnya:

“Aku percaya kepada istriku dan juga adikku, tapi…”

“Kita kembali lagi menjadi ragu dan percaya pada praduga-praduga…,” potong Shaleh. “Percayalah, wahai Khalid, adikmu Hamd akan menjadi penjaga yang amanah untuk rumahmu, baik ketika engkau ada ataupun tidak. Ia tidak mungkin akan mengganggu istri kakaknya karena ia sudah menganggapnya seperti kakaknya. Dan coba tanyakan pada dirimu sendiri, wahai Khalid, jika adikmu Hamd kelak menikah, apakah engkau sempat berpikir untuk mengganggu istrinya? Aku yakin jawabnya tidak, bukan?

Lalu kenapa engkau harus kehilangan ayahmu, ibumu dan saudaramu? Keluargamu akan berpecah hanya karena praduga-praduga seperti itu? Gunakanlah akal sehatmu. Buatlah ayah dan ibumu ridha agar Allah juga ridha pada-Mu. Dan jika engkau setuju, biarlah adikmu Hamd, tinggal di bagian depan dari rumahmu, kemudian kuncilah pintu pemisah antara bagian depan rumahmu dengan ruangan-ruangan lain.”

Khalid akhirnya bisa menerima penjelasan kawannya, Shaleh. Di hadapannya, ia tidak punya pilihan selain menerima adiknya, Hamd untuk tinggal bersamanya di rumahnya.

Beberapa hari kemudian, Hamd pun tiba. Khalid menjemputnya di bandara. Mereka kemudian meluncur menuju rumah Khalid di mana Hamd akan menempati bagian depannya. Dan seperti itulah yang terjadi selanjutnya…

Hari demi hari terus berganti. Ia bergulit mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Dan kini kita telah berada di empat tahun setelah perisitiwa itu…

Kini Khalid telah genap berusia 30 tahun. Ia telah menjadi ayah bagi tiga orang anak. Sementara Hamd kini telah memasuki tahun terakhir perkuliahannya. Ia sudah hampir menyelesaikan kuliahnya di universitas. Kakaknya, Khalid telah berjanji untuk mengupayakan pekerjaan yang layak untuk adiknya di universitas itu, dan membolehkannya tetap tinggal di rumah itu hingga ia menikah dan pindah dengan istrinya ke rumah tersendiri.

Pada suatu malam, ketika Khalid baru saja pulang ke rumahnya dengan mengendarai mobilnya…Ia melintas di jalan yang bertepian dengan rumahnya. Tiba-tiba dari jauh ia melihat seperti dua sosok hitam di pinggir jalan. Ketika ia mendekat, ternyata seorang ibu tua dengan seorang gadis yang terbaring di tanah menangis kesakitan. Sementara sang ibu tua it uterus berteriak meminta tolong:

“Tolong!! Toloooong kami!”

Khalid sungguh heran dengan pemandangan itu. Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk mendekat lebih dekat lagi dan bertanya mengapa mereka berdiri di pinggir jalan seperti itu.

Ibu tua itupun menceritakan padanya bahwa mereka bukanlah penduduk kota itu. Mereka baru sepekan saja berada di situ. Mereka tidak mengenal siapapun di sini, dan bahwa gadis itu adalah anaknya, suaminya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dan sekarang si anak itu mengalami sakit melahirkan sebelum waktunya. Anaknya hampir mati karena rasa sakit yang luar biasa itu, sementara mereka tidak menemukan seorang pun yang dapat mengantar mereka ke rumah sakit.

Ibu tua itu meminta tolong dan memohon-mohon padanya sembari mengucurkan air mata: “Tolonglah, aku akan mencium kedua kakimu….bantulah aku dan anakku ke rumah sakita terdekat! Semoga Allah menjagamu, istrimu dan anak-anakmu dari semua musibah.”

Air mata ibu tua dan erangan kesakitan gadis itu membuatnya terenyuh. Ia benar-benar merasa kasihan. Dan karena dorongan untuk membantu orang kesulitan, ia pun setuju untuk membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Ia segera menaikkan mereka ke mobilnya, dan secepatnya meluncur ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, ibu tua itu tidak putus-putusnya mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk Khalid dan keluarganya.

Tidak lama kemudian, mereka pun sampai ke rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan administrasinya, gadis itu kemudian dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk menjalani operasi cesar, karena ia tidak mungkin melahirkan secara normal.

Karena ingin berbuat baik, Khalid merasa kurang enak jika segera pergi dan meninggalkan ibu tua itu bersama putrinya di sana sebelum ia merasa yakin betul akan keberhasilan operasi itu dan bayi yang dikandungnya keluar dengan selamat. Ia pun menyampaikan kepada ibu tua itu bahwa ia akan menunggunya di ruang tunggu pria. Ia meminta pada ibu itu untuk mengabarinya jika operasi itu selesai dan proses melahirkan itu berhasil dengan selamat. Khalid kemudian menghubungi istrinya dan menyampaikan bahwa ia akan sedikit terlambat pulang ke rumah. Ia menenangkan istri bahwa ia baik-baik saja.

Khalid pun duduk di ruang menunggu khusus pria. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok, dan kelihatannya ia sangat mengantuk. Ia pun tertidur tanpa ia sadari. Khalid tidak pernah tahu berapa lama waktu berjalan selama ia tertidur. Namun yang ia ingat betul adalah pemandangan yang tidak akan pernah ia lupakan untuk selamanya…Ketika ia tiba-tiba terbangun oleh suara dokter jaga dan dua petugas keamanan yang mendekatinya, sementara si ibu tua tadi berteriak-teriak sambil menunjuk ke arahnya: “Itu dia! Itu dia!!”

Khalid sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia berdiri dari tempat duduknya dan segera mendatangi ibu tua itu, lalu berkata: “Apakah proses kelahirannya berhasil, Bu?”

Dan sebelum ibu tua itu mengucapkan sesuatu, seorang petuga keamanan mendekatinya dan bertanya: “Anda Khalid?”

“Iya, benar,” jawabnya.

“Kami ingin Anda datang sekarang juga ke ruang kepala keamanan!” ujar petugas itu.

Semuanya akhirnya masuk ke ruang kepala keamanan dan mengunci pintunya. Ketika itulah, ibu tua itu kembali berteriak dan memukul-mukul badannya sendiri. Ia mengatakan: “Inilah penjahat keji itu!! Aku harap kalian tidak melepaskan dan membiarkannya pergi! Duhai malangnya nasibmu, wahai putriku!”

Khalid hanya bisa terkejut penuh kebingungan, tidak memahami apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Ia tidak sadar dari kebingungannya kecuali setelah polisi itu mengatakan:

“Ibu tua ini mengaku bahwa engkau telah berzina dengan putrinya. Engkau telah memperkosanya hingga hamil. Lalu ketika ia mengancammu untuk melaporkan ini pada polisi, engkau berjanji akan menikahinya. Namun setelah melahirkan, kalian akan meletakkan anak bayi itu di pintu salah satu mesjid agar ada orang baik yang mau mengambilnya untuk membawanya ke panti sosial!”

Khalid benar-benar terkejut mendengarkan ucapan itu. Dunia menjadi gelap di matanya. Ia tidak lagi bisa melihat apa yang ada di depannya. Kalimat-kalimatnya tertahan di kerongkongannya. Hingga tiba-tiba saja ia terjatuh, tidak sadarkan diri.

Tidak lama kemudian, Khalid tersadar dari pingsannya. Ia melihat dua orang petugas keamanan bersama di dalam ruangan itu. Seorang polisi khusus yang ada di situ segera mengajukan pertanyaan untuknya:

“Khalid, coba sampaikan yang sebenarnya. Karena kalau kami melihat sosokmu, nampaknya engkau adalah seorang yang terhormat. Penampilanmu menunjukkan bahwa engkau bukanlah pelaku yang melakukan kejahatan seperti ini.”

Dengan hati yang sangat hancur, Khalid mengatakan:

“Tuan-tuan, apakah seperti balasan untuk sebuah kebaikan? Apakah seperti ini kebaikan itu dibalas? Aku adalah seorang pria terhormat dan baik-baik. Aku sudah menikah dan punya tiga orang anak: Sami, Su’ud dan Hanadi. Dan aku tinggal di lingkungan baik-baik…”

Khalid tidak bisa menguasai dirinya. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk matanya. Kemudian ketika ia mulai tenang, ia pun menceritakan kisahnya dengan ibu tua dan putrinya itu secara lengkap.

Dan ketika Khalid selesai menyampaikan informasinya, polisi itu berkata padanya:

“Tenanglah! Aku percaya bahwa engkau tidak bersalah. Tapi persoalannya adalah semuanya harus berjalan sesuai prosedur. Harus ada bukti yang menunjukkan ketidakbersalahanmu dalam masalah ini. Perkaranya sangat mudah dalam kasus ini. Kami hanya akan melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium medis khusus yang akan menyingkap hakikat sebenarnya.”

“Hakikat apa?” potong Khalid. “Hakikat bahwa aku tidak bersalah dan seorang yang terhormat? Apakah kalian tidak mempercayaiku?”

Keesokan paginya, selesailah pengambilan sampel sperma milik Khalid untuk kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa dan diteliti. Khalid duduk bersama polisi khusus di sebuah ruangan lain. Ia tak putus-putusnya berdoa dan meminta kepada Allah agar menunjukkan apa yang sebenarnya telah terjadi!

Kurang lebih dua jam kemudian, datanglah hasil pemeriksaan tersebut. Hasilnya sungguh mengejutkan. Pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Khalid sama sekali tidak bersalah dalam masalah ini. Itu sepenuhnya adalah tuduhan dusta. Khalid tak kuasa menahan rasa gembiranya. Ia bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukurnya karena Ia telah menunjukkan ketidakbersalahannya dalam kasus itu. Petugas polisi itupun meminta maaf atas gangguan yang mereka munculkan. Kemudian si ibu tua dan putrinya itupun ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Sebelum meninggalkan rumah sakit, Khalid berusaha untuk berpamitan kepada dokter spesialis yang telah melakukan pemeriksaan tersebut, karena telah menjadi sebab kebebasannya dari tuduhan keji itu. Ia pun pergi menemui sang dokter di ruangannya untuk berpamitan dan berterima kasih. Namun dokter itu justru memberikan kabar kejutan padanya:

“Jika Anda berkenan, saya ingin berbicara dengan Anda secara khusus beberapa menit…”

Dokter itu nampak agak gugup, lalu seperti berusaha mengumpulkan keberaniannya ia berkata:

“Khalid, sebenarnya dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, saya khawatir Anda mengidap sebuah penyakit! Tapi saya belum bisa memastikannya. Karena itu saya harap Anda berkenan untuk melakukan beberapa pemeriksaan lagi untuk istri dan anak-anak Anda agar saya bisa memastikannya dengan yakin…”

Dengan perasaan dan raut wajah penuh keterkejutan dan kekhawatiran, Khalid pun berkata:

“Dokter, tolong kabarkan pada apa yang sedang kuderita…aku rela menerima semua takdir Allah bagiku. Yang paling penting bagiku adalah anak-anakku yang masih kecil. Aku siap mengorbankan apa saja untuk mereka…”

Lalu ia menangis tersedu-sedu. Dokter berusaha untuk menenangkannya dan berkata:

“Sebenarnya saya tidak bisa mengabari Anda sekarang sampai saya benar-benar yakin dengan hal itu. Boleh jadi keraguanku tidak pada tempatnya. Tapi segeralah bawa ketiga anakmu ke sini untuk pemeriksaan.”

Beberapa jam kemudian, Khalid pun membawa istri dan anak-anaknya ke rumah sakit itu. Selanjutnya mereka diperiksa dan diambil sampel-sampelnya yang dibutuhkan untuk pemeriksaan laboratorium. Setelah itu, ia membawa mereka pulang lalu ia kembali lagi ke rumah sakit untuk menemui dokter itu lagi. Ketika mereka berdua sedang mengobrol, tiba-tiba telefon genggam Khalid berbunyi. Ia mengangkatnya dan berbicara kepada orang yang menelponnya beberapa menit.

Kemudian setelah selesai, ia kembali melanjutkan pembicaraannya dengan dokter yang mendahuluinya dengan pertanyaan: “Siapa orang yang padanya kau sampaikan untuk tidak membongkar pintu apartemen itu?”

“Ia adikku, Hamd. Ia tinggal bersama kami dalam satu apartemen. Ia telah menghilangkan kuncinya dan memintaku untuk segera pulang agar dapat membuka kunci pintu yang tertutup itu,” jawab Khalid.

“Sejak kapan ia tinggal bersama kalian?” tanya dokter heran.

“Sejak empat tahun yang lalu,” jawab Khalid. “Saat ini, ia sedang menyelesaikan tahun terakhirnya di universitas.”

“Bisakah engkau menghadirkannya pula besok untuk juga diperiksa? Kami ingin memastikan apakah penyakit ini keturunan atau bukan?” tanya dokter.

“Dengan senang hati, besok kami akan hadir ke sini bersama,” jawab Khalid.

Pada waktu yang telah ditentukan, Khalid dan Hamd, adiknya, hadir di rumah sakit. Dan akhirnya selesai pula pemeriksaan laboratorium terhadap sang adik. Dokter kemudian meminta Khalid untuk menemuinya satu pekan dari sekarang untuk mengetahui hasil akhirnya…

Sepanjang pekan itu, Khalid hidup dalam kegalauan dan kegelisahan. Pada waktu yang dijanjikan, Khalid pun datang pada minggu berikutnya. Dokter menyambutnya dengan hangat. Ia juga memesankan segelas lemon untuknya agar ia lebih tenang. Dokter mengawali penjelasannya dengan mengingatkan Khalid betapa pentingnya bersabar menghadapi musibah, dan memang demikianlah dunia itu!

Khalid memotong pembicaraan dokter itu dengan mengatakan:

“Tolong, Dokter, Anda jangan membakar tubuhku lebih lama lagi. Aku sudah siap untuk menanggung penyakit apapun yang menimpaku. Ini telah menjadi takdir Allah untukku. Apa yang sebenarnya telah terjadi, Dokter?”

Dokter itu menganggukkan kepalanya lau berkata:

“Seringkali, hakikat yang sebenarnya itu begitu menyakitkan, keras dan pahit! Tapi harus diketahui dan dihadapi! Sebab lari dari masalah tidak akan menyelesaikannya dan tidak akan mengubah keadaan.

Dokter itu terdiam sebentar. Lalu ia pun menyampaikan yang sebenarnya:

“Khalid, mohon maaf, sebenarnya Anda itu mandul dan tidak bisa punya anak…, Ketiga anak itu bukan anak Anda. Mereka adalah anak adik Anda, Hamd.”

Khalid tidak mampu mendengarkan kenyataan pahit itu. Ia berteriak histeris hingga teriakannya memenuhi penjuru rumah sakit. Lalu ia jatuh tak sadarkan diri.

Dua minggu kemudian, barulah ia sadar dari ketidaksadarannya yang panjang. Namun ketika ia sadar, ia telah menemukan hidupnya hancur berkeping-keping.

Khalid mengalami stroke di setengah bagian tubuhnya. Kewarasannya hilang akibat berita yang menyakitkan itu. Ia akhirnya dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk melewati hari-harinya yang tersisa.

Adapun istrinya, maka ia telah diserahkan kepada Mahkamah Syariat untuk membenarkan pengakuannya lalu dihukum dengan hukum rajam hingga mati.

Sedangkan adiknya, Hamd, ia sekarang berada di dalam penjara menunggu keputusan hukum yang sesuai dengan kejahatannya.

Sedangkan ketiga anak itu, mereka dipindahkan ke panti sosial untuk akhirnya hidup bersama anak-anak yatim dan mereka yang dipungut dari jalanan. Begitulah, sunnatullah berlaku: “Ipar itu adalah maut.”

‘Dan engkau tak akan menemukan perubahan pada ketentuan Allah.”

Sumber : “Chicken Shoup For Muslim,  Penerbit Sukses Publishing Hal. 105-122 via Facebook Penerbit Shafa Publika

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..

Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35

Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..

Baarakallahu Fiikum..

Ditolak Lamarannya Lebih Dari 18 Kali

trg54Pada tahun 1047 H,ketika melakukan suatu tugas pekerjaan saya bertemu dengan seorang lelaki. Tugas itu memakan waktu lebih dari sebulan.oleh karena itu,terjadilah suatu persahabatan yang akrab diantara kami berdua. Suatu ketika aku bertanya kepadanya, “Temanku yang terhormat,aku tahu kamu belum menikah,padahal umurmu sekarang hampir 40 tahun. Kenapa kamu mesti terlambat menikah. Orang sepertimu pasti mengetahu manfaat-manfaat yang banyak dari menikah..?”

Temanku diam, kemudian katanya,”Ah…ah…! Sobat. Demi Allah, aku benar-benar telah lelah mencari dan mencari calon istri sampai aku putus asa,dan akhirnya aku tidak ingin menikah. Sejak lebih dari tujuh tahun yang lalu aku sudah sering melamar lalu ditolak. tahukah kamu sobat, aku melamar lebih dari 18 wanita, setiap kali aku mengetuk, aku berkata dalam hati, mereka pasti akan menerimaku, insyaallah.

Akan tetapi, ternyata mereka menolak. Oleh karena itu, aku merasa sedih, tidak bisa tidur, dan sering kali melamun hingga timbullah pikiran-pikiran dalam benakku, benarkah memang harus demikian nasibku? Benarkah? Sehingga, aku benar-benar ragu terhadap diriku, bahkan aku menuduh yang tidak-tidak terhadap diriku, akhlakku dan keluargaku. Betapa sering aku merasa semakin sakit hati dan sedih ketika ada sebagian kerabatku atau orang yang aku kasihi menanyaiku, kenapa kamu tidak menikah..? Aku merasa kesulitan sekali untuk menerangkan apa duduk persoalan yang sebenarnya kepada setiap orang.”

Aku berkata kepada temanku itu -meski aku malu, karena aku merasa telah membuatnya kesulitan-, aku katakan,”Sobat, bergembiralah menerima kebaikan. Karena,yang baik adalah apa yang dipilihkan Allah untuk hamba-Nya, dan kamu jangan putus asa. Mintalah taufiq dan kesudahan yang baik kepada Tuhanmu.”

Kemudian, terhentilah pembicaraan kami berdua.

Selanjutnya, hampir lima bulan lamanya kami tidak bertemu. Tiba-tiba temanku itu menghubungi aku. Dia mengundangku untuk menghadiri pesta pernikahnya. Aku senang sekali dan mengucapkan selamat kepadanya.

Kira-kira dua tahun setelah menikah, aku bertemu lagi dengannya. Dan dia tampak bahagia sekali. Dia memberi kabar tentang kelahiran anaknya. Kemudian,aku katakan kepadanya,”Bagaimana keadaanmu dan istrimu?”

“Masya Allah,” katanya, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya yang terlahir maupun yang batin. Aku beri tahu kamu bahwa aku mendapat nikmat yang besar sekali. Sungguh, Allah telah mengaruniakan aku kepadaku seorang istri yang menentramkan mataku dari segala seginya. Dia adalah wanita yang shalih, terpelajar, cerdas, cantik fisik dan akhlaknya, dan baik sikapnya. Allah telah menjadikan kasih sayang di antara kami sehingga merasa sangat bahagia. Dia benar-benar memuliakan aku dan keluargaku, khususnya kedua orang tuaku, orang tuaku telah berusia lanjut, keduanya sangat butuh perhatian khusus dan istriku telah melakukan itu dengan sangat sempurna, Alhamdulillah. Demi Allah, aku benar-benar memuji Allah setiap kali aku mengingat penderitaan-penderitaanku ketika ditolak oleh orang-orang yang dulu itu, dan aku katakan , Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menjadikan mereka tidak menerima lamaranku.

Aku senantiasa memohon kepada Allah agar senantiasa memberi kebahagiaan kepadaku dan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman:
“Barangkali kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”(Q.S An Nisa : 19)

Sumber: Buku Obat Penawar Hati Yang Sedih hal 253-255, Sulaiman bin Muhammad bin Abdullah Al-Utsaim, Penerbit Pustaka Darussunnah

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..

Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35

Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..

Baarakallahu Fiikum..