Arsip Blog
Wanita Syiah Makassar Ajak Zina Seorang Ikhwan
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..
Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35
Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..
Baarakallahu Fiikum..
AFWAN, IKHWAN ITU PACAR SAYA
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..
Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35
Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..
Baarakallahu Fiikum..
Kisah Nyata: Tukar Jodoh
Itulah jodoh…
Tak terduga, aneh, unik, bahkan terkadang lucu. Ada yang mendapatkannya dengan susah payah, ada juga yang tanpa susah mencari datang sendiri. Pun halnya diriku, hanya selang 3 hari ikhwan yang melamarku ditolak Bapak, aku mendapat ganti. Dan lucunya, ikhwan pengganti itu juga usai ditolak lamarannya oleh akhwat lain. Dan tahukah Anda? Akhwat itu adalah sahabatku sendiri! Awalnya kami sama-sama tak tahu, baru setelah ia mengundangku dan aku berniat mengundangnya ke pernikahanku, pecahlah tawa kami. Masya Allah, kisah aneh dan lucu juga membuatku takjub. Karena kami menikah di hari yang sama meski di tempat berbeda…
***
Aku lahir dari keluarga yang awam dalam soal agama, meski muslim keluargaku hampir tak pernah menanamkan nilai-nilai agama, mau ngaji atau tidak tak masalah. Hamper seisi rumah shalat bolong-bolong. Maka tak mengherankan, standar sukses bagi bapak dan ibu adalah materi. Jilbab besar dan cadar bagi bapak dan ibu adalah hal menakutkan. Penghalang kesuksesan dunia dan karir kata mereka. Maka tak heran, beliau berdua keras menentangku. Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa bersabar dalam doa-doa aku. Lebih-lebih, karena aku masih sepenuhnya tergantung pada mereka.
Lulus kuliah aku mengajar di sebuah sekolah. Tahun berganti hingga suatu hari ada tawaran nikah datang dari seorang ikhwan. Setelah kubaca biodatanya, aku menerimanya dengan mengirim jawaban beberapa hari kemudian. Saat ikhwan datang memenuhi undangan orangtuaku sekaligus meminta izin bapak untuk menikahiku , bapak ternyata menolak sang ikhwan mentah-mentah karena pekerjaannya cuma “pedagang kaki lima”.
Padahal kalau bapak tahu yang sebenarnya, bahwa ikhwan itu bukan pedagang kaki lima “biasa”, tapi seorang “bos” yang punya 5 buah toko besar dengan belasan karyawan. Tak Cuma itu, ia juga punya beberapa indutri rumah tangga konveksi dan produk makanan ringan dengan puluhan karyawan. “kerendahan diri” ikhwan di depan bapak, membuat bapak menolaknya. Sedih? Ya, tentu saja. Aku sempat menangis dan kecewa pada bapak dan ibu. Akhirnya aku hanya bisa pada Allah. Semoga ikhwan sarjana S1, matang agamanya dan juga telah mapan datang melamarku.
Tiga hari kemudian ada tawaran menikah lagi. Meski tak seyakin yang pertama, aku menyambutnya lagi. Dengan bismillah kumulai ta’aruf, berharap yang terbaik. Ikhwan itu kata bapak lebih “menjanjikan” masa depan. Ikhwan itu seorang sarjana yang dipercaya membawahi beberapa usaha muluk teman bapaknya. Qodarullah, ikhwan itu bermobil saat ke rumah, meski dengan jujur menurutnya itu hanya mobil inventaris. Tapi begitulah, bagi bapak, secara materi ikhwan kali ini “sesuai seleranya”. Aku sebenarnya tak setuju dengan bapak karena mengutamakan “penampilan” luar, lebih-lebih materi.
Tapi aku memilihnya karena menurut ummahat comblangku dengan ikhwan , ikhwan itu InsyaAllah shalih, sabar, pinter, punya hafalan Al-Qur’an lumayan banyak, dan sayang dengan keluarga. Asal tahu saja, bapakku pun tak terlalu suka aku menikah dengan ikhwan bercelana cingkrang. Bahkan beliau pernah menawariku menikah dengan anak temannya, tapi aku menolaknya.
Hari H telah ditentukan. Tepatnya sepekan kemudian. Meski awalnya bapak tak mengizinkan secepat itu, beliau lebih senang kami tukar cincin dulu, pacaran dulu biar lebih tahu pribadi masing-masing. Tapi setelah dijelaskan bapak menerima. Dua hari sebelum hari H sahabatku satu tempat taklim datang, kami akhir-akhir ini memang jarang bertemu. Rupanya ia hendak mengundangku ke pernikahannya. Kami pun mengobrol, hingga aku menanyakan siapa ikhwan yang akan menikah dengannya. Aku sempat terkejut mendengarnya. Apalagi setelah ia menceritakan ikhwan,alamat, pekerjaandan sebagainya. Melihat aku terkejut dan senyum-senyum karibku penasaran.
“Anti kenal dia ya?” Aku hanya tersenyum
“Gantian cerita dong, calon Anti ikhwan mana?”
Secara singkat aku menceritakan calon suamiku. Sahabatku terkejut dan senyum-senyum mendengar siapa calon suamiku. Entah siapa yang memulai kami berdua tertawa terpingkal-pingkal, untung saja di dalam kamar dan rumah sepi.
“Subhanallah, aneh tapi nyata ya ukh. Kita tukaran jodoh”.
Penolakan kedua orang tua kami pada ikhwan pertama alasannya sama, tak mau punya menantu “ikhwan” , pingin orang yang umum. Tapi qodarullah lamaran kedua pun sama-sama dari ikhwan, subhanallah, jodoh tak aakan kemana. Doa kami berdua terkabul, karena kami berharap kelak bila menikah bisa mendapat suami yang shalih. Alas an in itu dari orang tua, tak menghalangi Allah Ta’ala mengirim jodoh yang shalih buat kami. Insya Allah, walhamdulillah.
Dua hari kemudian kami sama-sama menikah. Tapi kami tak bisa saling menghadiri. Kami menikah di hari yang sama, aku sekitar jam 10 pagi, sahabatku ba’da zhuhur akad nikahnya. Meski tak bisa saling menghadiri kami saling mendoakan lewat sms. Silaturahmi kami pun kian akrab, kini kamisudah punya masing-masing tiga momongan. Semoga rumah tangga yang kami bangun ini langgeng dan semoga kami senantiasa bisa membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah.
Penulis: Ummu Arwa’
sumber : http://kisahromance.blogspot.com/2012/10/kisah-nyata-tukar-jodoh.html
Ipar Itu Adalah MAUT
Khalid duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang diliputi kesedihan dan kegalauan. Shaleh, kawannya, memperhatikan kegalauan dan kesedihan itu di wajahnya. Ia berdiri dari mejanya dan mendekati Khalid, lalu berkata padanya:
“Khalid, kita ini berteman layaknya bersaudara sejak sebelum kita sama-sama bekerja. Aku perhatikan sejak seminggu ini selalu termenung, tidak konsentrasi. Engkau kelihatan begitu galau dan bersedih…”
Khalid terdiam sejenak. Kemudian ia berkata:
“Terima kasih atas kepedulianmu, Shaleh…Aku merasa memang membutuhkan seseorang yang dapat mendengarkan masalah dan kegelisahanku, barangkali itu bisa membantuku untuk mencari jalan keluarnya…”
Khalid memperbaiki duduknya, lalu menuangkan segelas teh kepada kawannya, Shaleh. Kemudian ia berkata lagi:
“Masalahnya, wahai Shaleh, seperti yang engkau tahu aku sejak menikah 8 bulan lalu, aku dan istriku tinggal sendiri di sebuah rumah. Namun masalahnya adikku yang paling kecil, Hamd, yang berusia 20 tahun baru saja menyelesaikan SMA-nya dan diterima di salah satu universitas di sini. Dia akan datang satu atau dua minggu lagi untuk memulai kuliahnya. Ayah dan ibuku memintaku bahkan mendesakku agar Hamd dapat tinggal bersamaku di rumahku daripada ia harus tinggal di asrama mahasiswa bersama teman-temannya. Mereka takut nanti dia terseret mengikuti kawan-kawannya!
Aku menolak hal itu, karena kamu tahu kan bagaimana seorang pemuda yang sedang puber seperti itu. Keberadaannya di rumahku akan menjadi bahaya besar. Kita semua sudah melewati masa remaja seperti itu. Kita tahu betul bagaimana kondisinya. Apalagi aku terkadang keluar dari rumah, sementara ia akan tetap berada di kamarnya. Mungkin juga aku pergi untuk beberapa hari untuk urusan pekerjaan…dan banyak lagi…
Aku harus pula sampaikan padamu bahwa aku sudah menanyakan kepada salah seorang Syekh terkait masalah ini, dan beliau mengingatkanku untuk tidak mengizinkan siapapun, meski itu saudaraku sendiri untuk tinggal bersamaku dan bersama istriku di rumah. Beliau mengingatkanku tentang sabda NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Ipar itu adalah maut.”
Maksudnya bahwa hal paling berbahaya bagi seorang istri adalah kerabat-kerabat dekat sang suami, seperti saudara dan pamannya, karena mereka biasanya dengan mudah masuk ke dalam rumah. Dan tidak ada yang meragukan bahwa fitnah yang sangat besar dan berbahaya dapat terjadi di sini.
Lagi pula, engkau pasti tahu, wahai Shaleh, kita seringkali ingin berdua saja dengan istri di rumah agar kita bisa beristirahat bersamanya dengan selapang-lapangnya. Dan ini sudah pasti tidak bisa terwujud jika adikku, Hamd, tinggal bersama kami di rumah…”
Khalid terdiam sejenak. Ia meneguk teh yang ada di depannya. Kemudian ia melanjutkan kembali ucapannya:
“Aku sudah menjelaskan semuanya kepada ayah dan ibuku. Bahkan aku bersumpah bahwa yang aku inginkan adalah kebaikan untuk adikku, Hamd. Namun mereka justru marah kepadaku, mereka menyerangku di depan semua keluarga, menganggapku sudah durhaka, bahkan menyebutku berprasangka buruk kepada adikku, padahal ia menganggap istriku seperti kakaknya sendiri. Mereka mengira aku dengki pada adikku karena aku tidak menghendaki ia melanjutkan pendidikan tingginya…”
“Yang lebih berat dari itu semua, wahai Shaleh, adalah karena ayahku telah mengancamku dengan mengatakan bahwa ini akan menjadi citra buruk dan aib besar di tengah keluarga, karena bagaimana adikku bisa tinggal bersama orang lain sementara rumahku ada. Ayahku mengatakan: ‘Demi Allah, jika Hamd tidak tinggal bersamamu, aku dan ibumu akan marah padamu hingga kami mati. Kami tidak pernah mengenalmu sejak hari ini, dan kami akan berlepas diri darimu di dunia sebelum di akhirat…”
Khalid menundukkan kepalanya sejenak, lalu kembali berujar:
“Sekarang aku sungguh bingung tidak tahu berbuat apa. Dari satu sisi, aku ingin menyenangkan hati ayah dan ibuku, tapi di sisi lain aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan keluargaku. Nah, sekarang bagaimana pandanganmu, wahai Shaleh, terhadap masalah yang sangat berat ini?”
Shaleh memperbaiki duduknya. Ia kemudian mengatakan:
“Tentu engkau ingin mendengarkan pendapatku sejelas-jelasnya dalam masalah ini, bukan? Karenanya izinkan aku untuk mengatakan kepadamu, wahai Khalid, bahwa engkau benar-benar seorang peragu dan bimbang. Sebab jika tidak begitu, untuk apa semua persoalan dan masalah ini terjadi bersama kedua orang tuamu? Bukankah engkau tahu bahwa ridha Allah itu bergantung pada ridha kedua orang tua, begitu pula kemurkaan-Nya bergantung pada kemurkaan mereka berdua? Lagi pula jika adikmu tinggal serumah denganmu, ia akan membantumu menyelesaikan urusan rumah. Dan ketika engkau tidak ada di rumah untuk suatu urusan, ia akan menjaga rumahmu selama engkau pergi.
Shaleh sengaja diam sebentar. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Shaleh terhadap apa yang diucapkannya. Kemudian ia melanjutkan dengan mengatakan:
“Lagi pula aku ingin bertanya padamu: mengapa engkau berburuk sangka pada adikmu sendiri? Apa kamu lupa Allah melarang kita berburuk sangka kepada orang lain? Coba katakan padaku: bukankah engkau percaya dengan istrimu? Bukankah engkau percaya kepada adikmu?”
Khalid segera memotongnya:
“Aku percaya kepada istriku dan juga adikku, tapi…”
“Kita kembali lagi menjadi ragu dan percaya pada praduga-praduga…,” potong Shaleh. “Percayalah, wahai Khalid, adikmu Hamd akan menjadi penjaga yang amanah untuk rumahmu, baik ketika engkau ada ataupun tidak. Ia tidak mungkin akan mengganggu istri kakaknya karena ia sudah menganggapnya seperti kakaknya. Dan coba tanyakan pada dirimu sendiri, wahai Khalid, jika adikmu Hamd kelak menikah, apakah engkau sempat berpikir untuk mengganggu istrinya? Aku yakin jawabnya tidak, bukan?
Lalu kenapa engkau harus kehilangan ayahmu, ibumu dan saudaramu? Keluargamu akan berpecah hanya karena praduga-praduga seperti itu? Gunakanlah akal sehatmu. Buatlah ayah dan ibumu ridha agar Allah juga ridha pada-Mu. Dan jika engkau setuju, biarlah adikmu Hamd, tinggal di bagian depan dari rumahmu, kemudian kuncilah pintu pemisah antara bagian depan rumahmu dengan ruangan-ruangan lain.”
Khalid akhirnya bisa menerima penjelasan kawannya, Shaleh. Di hadapannya, ia tidak punya pilihan selain menerima adiknya, Hamd untuk tinggal bersamanya di rumahnya.
Beberapa hari kemudian, Hamd pun tiba. Khalid menjemputnya di bandara. Mereka kemudian meluncur menuju rumah Khalid di mana Hamd akan menempati bagian depannya. Dan seperti itulah yang terjadi selanjutnya…
Hari demi hari terus berganti. Ia bergulit mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Dan kini kita telah berada di empat tahun setelah perisitiwa itu…
Kini Khalid telah genap berusia 30 tahun. Ia telah menjadi ayah bagi tiga orang anak. Sementara Hamd kini telah memasuki tahun terakhir perkuliahannya. Ia sudah hampir menyelesaikan kuliahnya di universitas. Kakaknya, Khalid telah berjanji untuk mengupayakan pekerjaan yang layak untuk adiknya di universitas itu, dan membolehkannya tetap tinggal di rumah itu hingga ia menikah dan pindah dengan istrinya ke rumah tersendiri.
Pada suatu malam, ketika Khalid baru saja pulang ke rumahnya dengan mengendarai mobilnya…Ia melintas di jalan yang bertepian dengan rumahnya. Tiba-tiba dari jauh ia melihat seperti dua sosok hitam di pinggir jalan. Ketika ia mendekat, ternyata seorang ibu tua dengan seorang gadis yang terbaring di tanah menangis kesakitan. Sementara sang ibu tua it uterus berteriak meminta tolong:
“Tolong!! Toloooong kami!”
Khalid sungguh heran dengan pemandangan itu. Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk mendekat lebih dekat lagi dan bertanya mengapa mereka berdiri di pinggir jalan seperti itu.
Ibu tua itupun menceritakan padanya bahwa mereka bukanlah penduduk kota itu. Mereka baru sepekan saja berada di situ. Mereka tidak mengenal siapapun di sini, dan bahwa gadis itu adalah anaknya, suaminya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dan sekarang si anak itu mengalami sakit melahirkan sebelum waktunya. Anaknya hampir mati karena rasa sakit yang luar biasa itu, sementara mereka tidak menemukan seorang pun yang dapat mengantar mereka ke rumah sakit.
Ibu tua itu meminta tolong dan memohon-mohon padanya sembari mengucurkan air mata: “Tolonglah, aku akan mencium kedua kakimu….bantulah aku dan anakku ke rumah sakita terdekat! Semoga Allah menjagamu, istrimu dan anak-anakmu dari semua musibah.”
Air mata ibu tua dan erangan kesakitan gadis itu membuatnya terenyuh. Ia benar-benar merasa kasihan. Dan karena dorongan untuk membantu orang kesulitan, ia pun setuju untuk membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Ia segera menaikkan mereka ke mobilnya, dan secepatnya meluncur ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, ibu tua itu tidak putus-putusnya mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk Khalid dan keluarganya.
Tidak lama kemudian, mereka pun sampai ke rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan administrasinya, gadis itu kemudian dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk menjalani operasi cesar, karena ia tidak mungkin melahirkan secara normal.
Karena ingin berbuat baik, Khalid merasa kurang enak jika segera pergi dan meninggalkan ibu tua itu bersama putrinya di sana sebelum ia merasa yakin betul akan keberhasilan operasi itu dan bayi yang dikandungnya keluar dengan selamat. Ia pun menyampaikan kepada ibu tua itu bahwa ia akan menunggunya di ruang tunggu pria. Ia meminta pada ibu itu untuk mengabarinya jika operasi itu selesai dan proses melahirkan itu berhasil dengan selamat. Khalid kemudian menghubungi istrinya dan menyampaikan bahwa ia akan sedikit terlambat pulang ke rumah. Ia menenangkan istri bahwa ia baik-baik saja.
Khalid pun duduk di ruang menunggu khusus pria. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok, dan kelihatannya ia sangat mengantuk. Ia pun tertidur tanpa ia sadari. Khalid tidak pernah tahu berapa lama waktu berjalan selama ia tertidur. Namun yang ia ingat betul adalah pemandangan yang tidak akan pernah ia lupakan untuk selamanya…Ketika ia tiba-tiba terbangun oleh suara dokter jaga dan dua petugas keamanan yang mendekatinya, sementara si ibu tua tadi berteriak-teriak sambil menunjuk ke arahnya: “Itu dia! Itu dia!!”
Khalid sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia berdiri dari tempat duduknya dan segera mendatangi ibu tua itu, lalu berkata: “Apakah proses kelahirannya berhasil, Bu?”
Dan sebelum ibu tua itu mengucapkan sesuatu, seorang petuga keamanan mendekatinya dan bertanya: “Anda Khalid?”
“Iya, benar,” jawabnya.
“Kami ingin Anda datang sekarang juga ke ruang kepala keamanan!” ujar petugas itu.
Semuanya akhirnya masuk ke ruang kepala keamanan dan mengunci pintunya. Ketika itulah, ibu tua itu kembali berteriak dan memukul-mukul badannya sendiri. Ia mengatakan: “Inilah penjahat keji itu!! Aku harap kalian tidak melepaskan dan membiarkannya pergi! Duhai malangnya nasibmu, wahai putriku!”
Khalid hanya bisa terkejut penuh kebingungan, tidak memahami apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Ia tidak sadar dari kebingungannya kecuali setelah polisi itu mengatakan:
“Ibu tua ini mengaku bahwa engkau telah berzina dengan putrinya. Engkau telah memperkosanya hingga hamil. Lalu ketika ia mengancammu untuk melaporkan ini pada polisi, engkau berjanji akan menikahinya. Namun setelah melahirkan, kalian akan meletakkan anak bayi itu di pintu salah satu mesjid agar ada orang baik yang mau mengambilnya untuk membawanya ke panti sosial!”
Khalid benar-benar terkejut mendengarkan ucapan itu. Dunia menjadi gelap di matanya. Ia tidak lagi bisa melihat apa yang ada di depannya. Kalimat-kalimatnya tertahan di kerongkongannya. Hingga tiba-tiba saja ia terjatuh, tidak sadarkan diri.
Tidak lama kemudian, Khalid tersadar dari pingsannya. Ia melihat dua orang petugas keamanan bersama di dalam ruangan itu. Seorang polisi khusus yang ada di situ segera mengajukan pertanyaan untuknya:
“Khalid, coba sampaikan yang sebenarnya. Karena kalau kami melihat sosokmu, nampaknya engkau adalah seorang yang terhormat. Penampilanmu menunjukkan bahwa engkau bukanlah pelaku yang melakukan kejahatan seperti ini.”
Dengan hati yang sangat hancur, Khalid mengatakan:
“Tuan-tuan, apakah seperti balasan untuk sebuah kebaikan? Apakah seperti ini kebaikan itu dibalas? Aku adalah seorang pria terhormat dan baik-baik. Aku sudah menikah dan punya tiga orang anak: Sami, Su’ud dan Hanadi. Dan aku tinggal di lingkungan baik-baik…”
Khalid tidak bisa menguasai dirinya. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk matanya. Kemudian ketika ia mulai tenang, ia pun menceritakan kisahnya dengan ibu tua dan putrinya itu secara lengkap.
Dan ketika Khalid selesai menyampaikan informasinya, polisi itu berkata padanya:
“Tenanglah! Aku percaya bahwa engkau tidak bersalah. Tapi persoalannya adalah semuanya harus berjalan sesuai prosedur. Harus ada bukti yang menunjukkan ketidakbersalahanmu dalam masalah ini. Perkaranya sangat mudah dalam kasus ini. Kami hanya akan melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium medis khusus yang akan menyingkap hakikat sebenarnya.”
“Hakikat apa?” potong Khalid. “Hakikat bahwa aku tidak bersalah dan seorang yang terhormat? Apakah kalian tidak mempercayaiku?”
Keesokan paginya, selesailah pengambilan sampel sperma milik Khalid untuk kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa dan diteliti. Khalid duduk bersama polisi khusus di sebuah ruangan lain. Ia tak putus-putusnya berdoa dan meminta kepada Allah agar menunjukkan apa yang sebenarnya telah terjadi!
Kurang lebih dua jam kemudian, datanglah hasil pemeriksaan tersebut. Hasilnya sungguh mengejutkan. Pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Khalid sama sekali tidak bersalah dalam masalah ini. Itu sepenuhnya adalah tuduhan dusta. Khalid tak kuasa menahan rasa gembiranya. Ia bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukurnya karena Ia telah menunjukkan ketidakbersalahannya dalam kasus itu. Petugas polisi itupun meminta maaf atas gangguan yang mereka munculkan. Kemudian si ibu tua dan putrinya itupun ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, Khalid berusaha untuk berpamitan kepada dokter spesialis yang telah melakukan pemeriksaan tersebut, karena telah menjadi sebab kebebasannya dari tuduhan keji itu. Ia pun pergi menemui sang dokter di ruangannya untuk berpamitan dan berterima kasih. Namun dokter itu justru memberikan kabar kejutan padanya:
“Jika Anda berkenan, saya ingin berbicara dengan Anda secara khusus beberapa menit…”
Dokter itu nampak agak gugup, lalu seperti berusaha mengumpulkan keberaniannya ia berkata:
“Khalid, sebenarnya dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, saya khawatir Anda mengidap sebuah penyakit! Tapi saya belum bisa memastikannya. Karena itu saya harap Anda berkenan untuk melakukan beberapa pemeriksaan lagi untuk istri dan anak-anak Anda agar saya bisa memastikannya dengan yakin…”
Dengan perasaan dan raut wajah penuh keterkejutan dan kekhawatiran, Khalid pun berkata:
“Dokter, tolong kabarkan pada apa yang sedang kuderita…aku rela menerima semua takdir Allah bagiku. Yang paling penting bagiku adalah anak-anakku yang masih kecil. Aku siap mengorbankan apa saja untuk mereka…”
Lalu ia menangis tersedu-sedu. Dokter berusaha untuk menenangkannya dan berkata:
“Sebenarnya saya tidak bisa mengabari Anda sekarang sampai saya benar-benar yakin dengan hal itu. Boleh jadi keraguanku tidak pada tempatnya. Tapi segeralah bawa ketiga anakmu ke sini untuk pemeriksaan.”
Beberapa jam kemudian, Khalid pun membawa istri dan anak-anaknya ke rumah sakit itu. Selanjutnya mereka diperiksa dan diambil sampel-sampelnya yang dibutuhkan untuk pemeriksaan laboratorium. Setelah itu, ia membawa mereka pulang lalu ia kembali lagi ke rumah sakit untuk menemui dokter itu lagi. Ketika mereka berdua sedang mengobrol, tiba-tiba telefon genggam Khalid berbunyi. Ia mengangkatnya dan berbicara kepada orang yang menelponnya beberapa menit.
Kemudian setelah selesai, ia kembali melanjutkan pembicaraannya dengan dokter yang mendahuluinya dengan pertanyaan: “Siapa orang yang padanya kau sampaikan untuk tidak membongkar pintu apartemen itu?”
“Ia adikku, Hamd. Ia tinggal bersama kami dalam satu apartemen. Ia telah menghilangkan kuncinya dan memintaku untuk segera pulang agar dapat membuka kunci pintu yang tertutup itu,” jawab Khalid.
“Sejak kapan ia tinggal bersama kalian?” tanya dokter heran.
“Sejak empat tahun yang lalu,” jawab Khalid. “Saat ini, ia sedang menyelesaikan tahun terakhirnya di universitas.”
“Bisakah engkau menghadirkannya pula besok untuk juga diperiksa? Kami ingin memastikan apakah penyakit ini keturunan atau bukan?” tanya dokter.
“Dengan senang hati, besok kami akan hadir ke sini bersama,” jawab Khalid.
Pada waktu yang telah ditentukan, Khalid dan Hamd, adiknya, hadir di rumah sakit. Dan akhirnya selesai pula pemeriksaan laboratorium terhadap sang adik. Dokter kemudian meminta Khalid untuk menemuinya satu pekan dari sekarang untuk mengetahui hasil akhirnya…
Sepanjang pekan itu, Khalid hidup dalam kegalauan dan kegelisahan. Pada waktu yang dijanjikan, Khalid pun datang pada minggu berikutnya. Dokter menyambutnya dengan hangat. Ia juga memesankan segelas lemon untuknya agar ia lebih tenang. Dokter mengawali penjelasannya dengan mengingatkan Khalid betapa pentingnya bersabar menghadapi musibah, dan memang demikianlah dunia itu!
Khalid memotong pembicaraan dokter itu dengan mengatakan:
“Tolong, Dokter, Anda jangan membakar tubuhku lebih lama lagi. Aku sudah siap untuk menanggung penyakit apapun yang menimpaku. Ini telah menjadi takdir Allah untukku. Apa yang sebenarnya telah terjadi, Dokter?”
Dokter itu menganggukkan kepalanya lau berkata:
“Seringkali, hakikat yang sebenarnya itu begitu menyakitkan, keras dan pahit! Tapi harus diketahui dan dihadapi! Sebab lari dari masalah tidak akan menyelesaikannya dan tidak akan mengubah keadaan.
Dokter itu terdiam sebentar. Lalu ia pun menyampaikan yang sebenarnya:
“Khalid, mohon maaf, sebenarnya Anda itu mandul dan tidak bisa punya anak…, Ketiga anak itu bukan anak Anda. Mereka adalah anak adik Anda, Hamd.”
Khalid tidak mampu mendengarkan kenyataan pahit itu. Ia berteriak histeris hingga teriakannya memenuhi penjuru rumah sakit. Lalu ia jatuh tak sadarkan diri.
Dua minggu kemudian, barulah ia sadar dari ketidaksadarannya yang panjang. Namun ketika ia sadar, ia telah menemukan hidupnya hancur berkeping-keping.
Khalid mengalami stroke di setengah bagian tubuhnya. Kewarasannya hilang akibat berita yang menyakitkan itu. Ia akhirnya dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk melewati hari-harinya yang tersisa.
Adapun istrinya, maka ia telah diserahkan kepada Mahkamah Syariat untuk membenarkan pengakuannya lalu dihukum dengan hukum rajam hingga mati.
Sedangkan adiknya, Hamd, ia sekarang berada di dalam penjara menunggu keputusan hukum yang sesuai dengan kejahatannya.
Sedangkan ketiga anak itu, mereka dipindahkan ke panti sosial untuk akhirnya hidup bersama anak-anak yatim dan mereka yang dipungut dari jalanan. Begitulah, sunnatullah berlaku: “Ipar itu adalah maut.”
‘Dan engkau tak akan menemukan perubahan pada ketentuan Allah.”
Sumber : “Chicken Shoup For Muslim, Penerbit Sukses Publishing Hal. 105-122 via Facebook Penerbit Shafa Publika
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..
Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35
Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..
Baarakallahu Fiikum..
Ditolak Lamarannya Lebih Dari 18 Kali
Pada tahun 1047 H,ketika melakukan suatu tugas pekerjaan saya bertemu dengan seorang lelaki. Tugas itu memakan waktu lebih dari sebulan.oleh karena itu,terjadilah suatu persahabatan yang akrab diantara kami berdua. Suatu ketika aku bertanya kepadanya, “Temanku yang terhormat,aku tahu kamu belum menikah,padahal umurmu sekarang hampir 40 tahun. Kenapa kamu mesti terlambat menikah. Orang sepertimu pasti mengetahu manfaat-manfaat yang banyak dari menikah..?”
Temanku diam, kemudian katanya,”Ah…ah…! Sobat. Demi Allah, aku benar-benar telah lelah mencari dan mencari calon istri sampai aku putus asa,dan akhirnya aku tidak ingin menikah. Sejak lebih dari tujuh tahun yang lalu aku sudah sering melamar lalu ditolak. tahukah kamu sobat, aku melamar lebih dari 18 wanita, setiap kali aku mengetuk, aku berkata dalam hati, mereka pasti akan menerimaku, insyaallah.
Akan tetapi, ternyata mereka menolak. Oleh karena itu, aku merasa sedih, tidak bisa tidur, dan sering kali melamun hingga timbullah pikiran-pikiran dalam benakku, benarkah memang harus demikian nasibku? Benarkah? Sehingga, aku benar-benar ragu terhadap diriku, bahkan aku menuduh yang tidak-tidak terhadap diriku, akhlakku dan keluargaku. Betapa sering aku merasa semakin sakit hati dan sedih ketika ada sebagian kerabatku atau orang yang aku kasihi menanyaiku, kenapa kamu tidak menikah..? Aku merasa kesulitan sekali untuk menerangkan apa duduk persoalan yang sebenarnya kepada setiap orang.”
Aku berkata kepada temanku itu -meski aku malu, karena aku merasa telah membuatnya kesulitan-, aku katakan,”Sobat, bergembiralah menerima kebaikan. Karena,yang baik adalah apa yang dipilihkan Allah untuk hamba-Nya, dan kamu jangan putus asa. Mintalah taufiq dan kesudahan yang baik kepada Tuhanmu.”
Kemudian, terhentilah pembicaraan kami berdua.
Selanjutnya, hampir lima bulan lamanya kami tidak bertemu. Tiba-tiba temanku itu menghubungi aku. Dia mengundangku untuk menghadiri pesta pernikahnya. Aku senang sekali dan mengucapkan selamat kepadanya.
Kira-kira dua tahun setelah menikah, aku bertemu lagi dengannya. Dan dia tampak bahagia sekali. Dia memberi kabar tentang kelahiran anaknya. Kemudian,aku katakan kepadanya,”Bagaimana keadaanmu dan istrimu?”
“Masya Allah,” katanya, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya yang terlahir maupun yang batin. Aku beri tahu kamu bahwa aku mendapat nikmat yang besar sekali. Sungguh, Allah telah mengaruniakan aku kepadaku seorang istri yang menentramkan mataku dari segala seginya. Dia adalah wanita yang shalih, terpelajar, cerdas, cantik fisik dan akhlaknya, dan baik sikapnya. Allah telah menjadikan kasih sayang di antara kami sehingga merasa sangat bahagia. Dia benar-benar memuliakan aku dan keluargaku, khususnya kedua orang tuaku, orang tuaku telah berusia lanjut, keduanya sangat butuh perhatian khusus dan istriku telah melakukan itu dengan sangat sempurna, Alhamdulillah. Demi Allah, aku benar-benar memuji Allah setiap kali aku mengingat penderitaan-penderitaanku ketika ditolak oleh orang-orang yang dulu itu, dan aku katakan , Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menjadikan mereka tidak menerima lamaranku.
Aku senantiasa memohon kepada Allah agar senantiasa memberi kebahagiaan kepadaku dan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman:
“Barangkali kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”(Q.S An Nisa : 19)
Sumber: Buku Obat Penawar Hati Yang Sedih hal 253-255, Sulaiman bin Muhammad bin Abdullah Al-Utsaim, Penerbit Pustaka Darussunnah
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..
Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35
Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..
Baarakallahu Fiikum..