Arsip Blog
Kisah Nyata tentang Mahar Terindah.. berupa TAUHID!
Aku bertemu suami hampir sebelas tahun lalu semasa semester akhir di perguruan tinggi. Awal yang tak sengaja, saat aku kena tilang (Istilah untuk pelanggaran aturan lalu lintas) di jalan sepulang kuliah. Suami lah yang kala itu menilangku. Karena tergesa-gesa pulang, helemku yang usai dipinjam teman ketinggalan di parkiran kampus. Seminggu berikutnya, aku kena razia lagi, gara-gara lupa membawa SIM. Itulah aku, masih muda tapi pelupa. Belum lagi kebiasaanku yang ceroboh dan asal taruh makin menambah daftar hitam “sifat burukku”. Bapak dan ibu sering sekali menegurku. Dan saat razia ini lagi-lagi aku berhadapan dengan polisi yang sama. Ya suamiku itu.
“Saudari tidak malu kena tilang terus?” Tanyanya kala itu sambil senyum-senyum.
Ya, malu pak. Bapak juga nggak bosen nilang saya?” Jawabku sekenanya.
Dia dan beberapa temannya tertawa. Aku diam-diam merasa dongkol. Siapa yang pingin lupa dan siapa juga pingin kena tilang? Aku menggerutu dalam hati.
Pertemuan ketiga terjadi saat tak sengaja ketemu. Suamiku yang kala itu masih bujang, dia belanja ke pasar! Ini benar-benar kejutan. Laki-laki pergi ke pasar, masih berpakaian dinas lagi. Ia begitu “pede” dan tampak terbiasa melakukannya. Saat aku masih terbengong melihatnya, dia melihat dan mendekatiku.
“Apa kabar, Mbak. Belanja ya?” sapanya ramah.
Ya, nganter ibu.
Belanja juga ya, Pak?”
Biasa kok, belanja titipan itu. Jangan panggil saya pak. Nama saya Suryo.” Aku manggut-manggut.
Aku sempat “dekat” dengannya selama tiga bulan. Qadarullah, saat itu aku mulai kenal Islam lebih dekat. Awalnya saat persiapan skripsi, aku harus “mendadak” jadi anak kost. Tujuanku untuk hemat energi dan bisa lebih konsen dalam mempersiapkan makalah. Kebetulan setelah mencari kos kian kemari, yang kosong cuma “kos-kosan ninja”, kata teman yang membantu mencari kos. Awalnya aku enggan dan tak berminat. Ternyata hikmah dan “skenario langit” itu kusadari kini. Musim hujan yang sering turun kala itu, juga membuatku tak bisa menolak untuk tidak kos di sana. Intinya, Allah tak memberiku pilihan lain. Meski awalnya asing bersama “ninja” tapi akhirnya, syukur alhamdulillah, tak pernah henti-henti kuucap.
Dari gaul dengan teman-teman akhwat itu, aku tahu kenapa tak ada istilah pacaran dalam Islam. Padahal, hampir tiga bulan aku di kos-kosan itu. Tiap malam Ahad aku “diapelin”. Astaghfirullah, malurasanya bila ingat itu.
Akhirnya, aku memutuskan baik-baik hubunganku dengannya. Meski awalnya ia tak mau. Aku memberinya pengertian dan asal pembaca tahu, suamiku saat itu masih non muslim. Ia Katholik taat. Bahkan, aku sening mengantarnya ke gereja. Itu kulakukan karena saat itu pemahaman agamaku sangat minim.
Sedih. Tentu dan itu pasti, Tapi aku telah memilih “jalan baru”. Aku hapus semua tentangnya, dari foto, nomor HP atau segala hal yang berhubungan dengannya. Hatiku ringan karena niatku semata merigharap nidha Allah. Skripsiku pun berjalan lancar. Dan saat wisuda IP-ku sangat memuaskan. Walhamdulillah.
Selesai kuliah, aku minta ijin ortu untuk tetap tinggal di kost. Itu kulakukan untuk menjaga ghirah dan istiqamah. Maklum, aku baru hitungan bulan mengenal manhaj ini, jadi butuh lingkungan yang mendukung. Aku tak yakin bila di rumah, sebab di numah bapak membuka rental PS (Playstation).
Rumah kecilku biasa jadi tongkrongan anak-anak dan remaja. Aku merasa tak nyaman di rumah. Untuk melarang bapak pun aku tak berani.
Untuk biaya hidup, aku mengajar. Hingga delapan bulan dari kelulusan. Sebuah sms kuterima dari Suryo. Padahal aku sudah ganti nomor handphone. Rupanya ia minta ke orang tuaku.
Pesannya singkat, “Maukah kau menikah denganku?”
Ya Allah pria ini masih saja mengharapkanku. Padahal aku telah membuang jauh tentangnya. Aku hapus SMS-nya, tanpa kubalas.
Malam Ahad, seperti biasa aku pulang ke rumah. Dan yang mengejutkanku Suryo mencariku. Penting kata bapak. Kepada bapak Suryo bilang ingin melamarku. Ia juga titip susuatu untukku. Amplop besar kubuka selepas Suryo pulang. Masya Allah, isinya adalah SK beberapa surat keterangan dari atasan hingga kantor pusat mengenai kepindahan agamanya. Suryo telah menjadi mualaf.
Air mataku berlingang, tangisku pecah. Ternyata begitu putus dariku, ia langsung mengurus surat pindah agama pada kantor dinasnya. Yang luar biasa, ia juga belajar dien mulia ini pada sebuah kajian bermanhaj salaf, subhanallah. Kuharap kepindahan agamanya semata karena Allah.
Akhirnya kuberi jawaban “ya” pada suryo lewat bapak. Kami baru bisa menikah beberapa bulan kemudian, karena harus menyelesaikan beberapa urusan terkait dinas.
Mahar terindah untukku adalah keislamannya. Sepanjang pernikahan itu aku tak henti berurai airmata, airmata bahagia. Bayangkan, usai akad nikah, 5 dari 7 saudara Mas Suryo juga menjadi mualaf-mualaf baru menyusul Mas Suryo. Walhamdulillah. Bapak dan ibu Mas Suryo tak bermasalah. Bahkan beliau berdua dekat dengan kami siang malam. Tak henti kumohon pada Allah agar memberi hidayah pada beliau berdua. Apalagi bila kuingat begitu luar biasanya baiknya mereka padaku, pada besan, pada keluarga, tetangga juga lingkungan sekelilingnya. Aku selalu berharap hidayah itu datang, amin.
Kini, kami sudah punya dua momongan. Aku dan suami selalu berangkat taklim bila ia tak dinas. Harapanku, keluarga yang kami bangun langgeng, sakinah mawaddah wa rahmah. (***).
Sebagaimana diceritakan shahibul qishah pada Ummu Nawwaf
sumber : Majalah NIKAH SAKINAH vol 9 no 12
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..
Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35
Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..
Baarakallahu Fiikum..
Penyesalan Seorang istri..
Aku membencinya…… Itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, Aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, Membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, Aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, Setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, Suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, Aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku.
Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, Akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, Aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, Aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, Aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, Aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, Aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, Tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, Dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, Dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, Ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun
sebelumnya, Saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu.
Yaah, Karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, Aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum ke kantor, Biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, Ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu Seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, Akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon. Namun betapa terkejutnya aku, Ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan.
Aku menelepon suamiku dan bertanya, “Maaf sayang, Kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara.
Tak lama kemudian, Handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, Akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, Aku pulang sekarang, Aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , Kuatir Aku menutup telepon kembali.
Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, Aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.
Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, Aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon.
Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, Terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri,
“Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?”
Kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, Ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.
Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku.
Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, Serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.
Selesai mendengar kenyataan itu, Aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada air mata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, Aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.
Air mata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar air mata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, Aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, Air mataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, Tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental.
Dadaku sesak mendengarnya, Karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Ia pun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, Aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya.
Di hari-hari awal kepergiannya, Aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, Aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu dirumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku.
Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, Tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, Tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa.
Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, Sekarang aku memandangi komputer, Mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, Sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, Sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote.
Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, Aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, Tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.
Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, Meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, Meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belakan, Hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, Keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa.
Dari kantor tempatnya bekerja, Aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, Ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana ? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, Ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
“Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, Aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja.
Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, Ya sayang. Jangan menangis, Sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, Putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu.
Dan Farhan, Ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke!!!!!!”
Aku terisak membaca surat itu, Ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya.
Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, Sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak- anakku. Ketika orang tuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, Tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikah dengan seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata, “Cintailah sayangku, cintailah suamimu, Cintailah pilihan hatimu, Cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, Kau akan belajar menyenangkan hatinya, Akan belajar menerima kekurangannya, Akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, Kalian akan menyelesaikannya atas nama CINTA.”
Putriku menatapku, “Seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “Bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, Seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, Tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, Tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
–
CINTAILAH ORANG YANG MASIH MENJADI MILIKMU HARI INI KARENA MUNGKIN KETIKA DIA PERGI MENINGGALKANMU, KAMU AKAN LEBIH MENCINTAINYA
Ditulis Ulang & Diedit Oleh: SLie
sumber : sharingdisini.com/2012/07/27/penyesalan-seorang-istri/
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..
Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35
Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..
Baarakallahu Fiikum..
Kisah Inspiratif – Wanita Usia 34 Tahun yang Belum Menikah..
Ketika itulah aku baru menyadari bagaimana susahnya terlambat menikah.
Pada suatu hari datang seorang pemuda meminangku. Usianya lebih tua dariku 2 tahun. Dia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tapi aku ikhlas menerima dirinya apa adanya.
Kami mulai menghitung rencana pernikahan. Dia meminta kepadaku photo copy KTP untuk pengurusan surat-surat pernikahan. Aku segera menyerahkan itu kepadanya.
Setelah berlalu dua hari ibunya menghubungiku melalui telepon. Beliau memintaku untuk bertemu secepat mungkin.
Aku segera menemuinya. Tiba-tiba ia mengeluarkan photo copyan KTPku. Dia bertanya kepadaku apakah tanggal lahirku yang ada di KTP itu benar?
Aku menjawab: Benar.
Lalu ia berkata: Jadi umurmu sudah mendekati usia 40 tahun?!
Aku menjawab: Usiaku sekarang tepatnya 34 tahun.
Ibunya berkata lagi: Iya, sama saja. Usiamu sudah lewat 30 tahun. Itu artinya kesempatanmu untuk memiliki anak sudah semakin tipis. Sementara aku ingin sekali menimang cucu.
Dia tidak mau diam sampai ia mengakhiri proses pinangan antara diriku dengan anaknya.
Masa-masa sulit itu berlalu sampai 6 bulan. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi melaksanakan ibadah umrah bersama ayahku, supaya aku bisa menyiram kesedihan dan kekecewaanku di Baitullah.
Akupun pergi ke Mekah. Aku duduk menangis, berlutut di depan Ka’bah. Aku memohon kepada Allah supaya diberi jalan terbaik.
Setelah selesai shalat, aku melihat seorang perempuan membaca al Qur’an dengan suara yang sangat merdu. Aku mendengarnya lagi mengulang-ulang ayat:
Air mataku menetes dengan derasnya mendengar lantunan ayat itu.
Tiba-tiba perempuan itu merangkulku ke pangkuannya. Dan ia mulai mengulang-ulang firman Allah:
Demi Allah, seolah-olah aku baru kali itu mendengar ayat itu seumur hidupku. Pengaruhnya luar biasa, jiwaku menjadi tenang.
Setelah seluruh ritual umrah selesai, aku kembali ke Cairo. Di pesawat aku duduk di sebelah kiri ayahku, sementara disebelah kanan beliau duduk seorang pemuda.
Sesampainya pesawat di bandara, akupun turun. Di ruang tunggu aku bertemu suami salah seorang temanku.
Kami bertanya kepadanya, dalam rangka apa ia datang ke bandara? Dia menjawab bahwa ia lagi menunggu kedatangan temannya yang kembali dengan pesawat yang sama dengan yang aku tompangi.
Hanya beberapa saat, tiba-tiba temannya itu datang. Ternyata ia adalah pemuda yang duduk di kursi sebelah kanan ayahku tadi.
Selanjutnya aku berlalu dengan ayahku…..
Baru saja aku sampai di rumah dan ganti pakaian, lagi asik-asik istirahat, temanku yang suaminya tadi aku temui di bandara menelphonku. Langsung saja ia mengatakan bahwa teman suaminya yang tadi satu pesawat denganku sangat tertarik kepada diriku. Dia ingin bertemu denganku di rumah temanku tersebut malam itu juga. Alasannya, kebaikan itu perlu disegerakan.
Jantungku berdenyut sangat kencang akibat kejutan yang tidak pernah aku bayangkan ini.
Lalu aku meminta pertimbangan ayahku terhadap tawaran suami temanku itu. Beliau menyemangatiku untuk mendatanginya. Boleh jadi dengan cara itu Allah memberiku jalan keluar.
Akhirnya…..aku pun datang berkunjung ke rumah temanku itu.
Hanya beberapa hari setelah itu pemuda tadi sudah datang melamarku secara resmi. Dan hanya satu bulan setengah setelah pertemuan itu kami betul-betul sudah menjadi pasangan suami-istri. Jantungku betul-betul mendenyutkan harapan kebahagiaan.
Kehidupanku berkeluarga dimulai dengan keoptimisan dan kebahagiaan. Aku mendapatkan seorang suami yang betul-betul sesuai dengan harapanku.
Dia seorang yang sangat baik, penuh cinta, lembut, dermawan, punya akhlak yang subhanallah, ditambah lagi keluarganya yang sangat baik dan terhormat.
Namun sudah beberapa bulan berlalu belum juga ada tanda-tanda kehamilan pada diriku. Perasaanku mulai diliputi kecemasan. Apalagi usiaku waktu itu sudah memasuki 36 tahun.
Aku minta kepada suamiku untuk membawaku memeriksakan diri kepada dokter ahli kandungan. Aku khawatir kalau-kalau aku tidak bisa hamil.
Kami pergi untuk periksa ke seorang dokter yang sudah terkenal dan berpengalaman. Dia minta kepadaku untuk cek darah.
Ketika kami menerima hasil cek darah, ia berkata bahwa tidak ada perlunya aku melanjutkan pemeriksaan berikutnya, karena hasilnya sudah jelas. Langsung saja ia mengucapkan “Selamat, anda hamil!”
Hari-hari kehamilanku pun berlalu dengan selamat, sekalipun aku mengalami kesusahan yang lebih dari orang biasanya. Barangkali karena aku hamil di usia yang sudah agak berumur.
Sepanjang kehamilanku, aku tidak punya keinginan mengetahui jenis kelamin anak yang aku kandung. Karena apapun yang dikaruniakan Allah kepadaku semua adalah nikmat dan karunia-Nya.
Setiap kali aku mengadukan bahwa rasanya kandunganku ini terlalu besar, dokter itu menjawab: Itu karena kamu hamil di usia sudah sampai 36 tahun.
Selanjutnya datanglah hari-hari yang ditunggu, hari saatnya melahirkan.
Proses persalinan secara caesar berjalan dengan lancar. Setelah aku sadar, dokter masuk ke kamarku dengan senyuman mengambang di wajahnya sambil bertanya tentang jenis kelamin anak yang aku harapkan.
Aku dikagetkan dengan pernyataannya: “Jadi bagaimana pendapatmu kalau kamu memperoleh 3 anak sekaligus?
Aku tidak paham apa gerangan yang ia bicarakan. Dengan penuh penasaran aku bertanya apa yang ia maksudkan? Lalu ia menjawab sambil menenangkan ku supaya jangan kaget dan histeris bahwa Allah telah mengaruniaku 3 orang anak sekaligus. 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.
Seolah-olah Allah berkeinginan memberiku 3 orang anak sekaligus untuk mengejar ketinggalanku dan ketuaan umurku.
Sebenarnya dokter itu tahu kalau aku mengandung anak kembar 3, tapi ia tidak ingin menyampaikan hal itu kepadaku supaya aku tidak merasa cemas menjalani masa-masa kehamilanku.
Lantas aku menangis sambil mengulang-ulang ayat Allah:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Bacalah ayat ini penuh tadabbur dan penghayatan, terus berdoalah dengan hati penuh yakin bahwa Allah tidak pernah dan tidak akan pernah menelantarkanmu.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..
Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35
Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..
Baarakallahu Fiikum..
Kisah Nyata Sarat Hikmah ” Teruntuk Akhwat Aktifis Dakwah “
Bismillahirrohmaanirrohiim ..
Teruntuk akhwat para pejuang dakwah, di bawah ini ada kisah nyata yang bisa kita ambil hikmahnya sebagai cerminan kelak saat berkeluarga ataupun yang sekarang sudah berkeluarga.
Selamat membaca ^_^d
Dari slamet di Kota Sigibiomaru Kab Sigi Sul-Teng
Assalamu ‘alaikum..
Pendengar nurani yang baik
Ini adalah sekelumit kisahku, yang dengan ini semua aku sangat berharap dapat menggugah hati-hati kita yang hingga hari ini tak mampu membagi waktu dengan baik, sehingga banyak hal yang kita abaikan yang konsekuensinya besar akibat dari ketidak mampuan kita memanaj waktu kita, aku adalah seorang suami dari seorang istri yg bernama Salma, kami menikah 5 tahun silam, tepatnya pada tahun 2005..
Pernikahan kami seperti pada umumnya melalui proses yang syar’i sebagaimana anjuran islam, karena alhamdulillah kami berdua terlahir dari sebuah organisasi islam yang terkenal sangat eksis dengan dakwahnya, meskipun secara dzohirnya keterlibatanku dalam dakwah ini belum seberapa. Dalam keseharianku, aku menjalani rutinitas sebagai seorang pedagang kecil-kecilan, namun Alhamdulillah usaha itu sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluargaku dan sedikitnya dapat memberi kontribusi pada dakwah dinullah.., sementara istriku “salma”, beliau dikenal sebagai aktifis tulen yang sejak masa gadisnya dia persembahkan hidupnya untuk dakwah ini, salma dalam tataran organisasi adalah seorang pengurus aktif organisasi sehingga seperti aktifis pada umumnya banyak kegiatan yg beliau ikuti, mulai dari mengisi liqo’, mengajar, dll yang seolah bila kita menyaksikannya mungkin kita akan merasa “mampukah aku seperti dia?, subhanallah”, seolah memiliki seribu nyawa yg tak pernah kenal letih mengusung dakwah ini. Bahkan banyak orang yg bangga pada kegigihan beliau. Itulah sosok istriku dimasa gadisnya
Semula aku mengira bahwa padatnya aktifitas salma akan berkurang setelah menikah denganku, apalagi setelah 3 pekan pasca walimah kami Alhamdulillah salma dinyatakan oleh dokter positif hamil, meskipun sebagai suami aku memberikan kebebasan sepenuhnya pada istriku untuk berkreasi apalagi untuk urusan ummat, Demi Allah aku selalu mendukungnya, bahkan tak jarang aku turut membiayai gerak langkahnya dalam dakwah bilkhusus pada kegiatan2 positif yg bersumber dari ide2nya. hidup sebagai sepasang suami – istri dengan kesibukan yg padat begitu sangat kami nikmati, volume berjumpa dan berkomunikasi antara kamipun terjadi hanya bisa dihitung dengan jari, yaitu hanya pada pagi sebelum berangkat ketempat kerja masing2, kemudian menjemputnya lagii untuk selanjutnya mengantarnya ketempat yg lain dengan agenda yg lain dan begitu seterusnya hingga kujemput malam hari lagi setelah tuntas segala rutinitasnya, kami menikmati semua itu, hingga akhirnya ketika memasuki 3 bulan pasca penikahan kami.
Waktu jualah yg mengantarkan aku pada sebuah kenyataan, bahwa sebenarnya aku merindukan kebersamaan dengan istriku, makan bersamanya, ngobrol bersamanya dan menjalani kehidupan normal dimana meskipun ditengah kesibukkan yg padat tetapi masing2 masih dapat menyisihkan waktu untuk menjalani kebersamaan itu , walau hanya sebatas makan siang atau apa saja, dan untuk mewujudkan semua itu, aku mulai mengurangi aktifitas bisnisku dan mengamanahkan kepada orang lain yg tentunya orang kepercayaanku untuk mengelola bisnis kecil2an itu, dengan harapan agar salma juga dapat sedikit saja mengurangi aktifitasnya dan menyisihkan waktu untukku, tetapi kenyataan itu tak kunjung dating, diberbagai situasi khususnya pada saat ada waktu luang untuk bersamanya, aku selalu mengangkat masalah ini dengan gaya bahasa mesra dan romantis, hmmmm (sambil menarik nafas) tapi salma ternyata selalu punya alasan untuk berkilah yg membuat aku akhirnya hanya bisa terpaku dalam diam, alasan2 yg cukup kuat dan masuk akal, yg isinya kurang lebih mengandung nilai2 motofasi untuk selalu giat berdakwah dan berjuang untuk agama ini, tapi meski demikian aku selalu tak bosan2nya untuk mengingatkan dia akan keinginaku tersebut. Jujur tidak ada sedikitpun niatku untuk membatasi ruang lingkup salam dalam dakwah ini, aku bahkan bangga padanya karena memiliki ghirah yg besar untuk perjuangan ini.., tapi salahkah juga aku bila sebagai suami menginginkan sedikit waktu darinya untuk sekedar berbagi atau makan siang sekali aja.., sebab menanti waktu datangnya malampun salma sepertinya tak maksimal memberi waktu untukku, dan aku tak dapat memprotes hal itu sebab memang jelas Nampak keletihan diwajahnya bila sudah kembali kerumah pada malam hari, aku bahkan kadang merasa kasihan melihat istriku selalu pulang dalam keadaan letih, selain dirinya aku juga menghawatirkan janin yg ada dalam kandungannya yg baru memasuki usia 3 bulanan, janin yg kelahirnya sangat kami harapkan.
Jujur kadang aku merasa sedih sendiri bila menyadari kenyataan ini, bahkan aku merasa bahwa “Apakah perasaanku ini akibat dari tidak adanya kesibukanku dalam dakwah ini sehingga aku tidak bisa merasai apa yg istriku rasakan..?”, Ya Allah ampuni aku bila sikapku ini berlebihan, aku hanya ingin merasai manisnya diperhatikan oleh istri tercinta, saat dimana sarapan pagi, siang dan malamku disiapkan, ketika aku membutuhkannya dia selau ada, tapi apa yg aku rasakan saat ini, setiap hari semenjak 2 pekan setelah menikah dan dia kembali terjun dalam aktifitasnya, kebiasaan2 itu tak pernah lagi aku rasakan, dimana sarapan pagiku harus kusiapkan sendiri bahkan kadang terpaksa sarapan pagi diluar sehabis mengantarnya ketempat aktifitasnya, begitu juga dengan makan siang dan malamku, aku sebetulnya berusaha untuk tidak memprotes akan semua ini, tapi hatiku merasa sangat hambar sekali, aku merasa seolah belum menikah dengan siapapun, aku juga merasa sepertinya aku tidak beristri, dan paling parah yg aku rasakan sepertinya aku hanyalah tukang ojek yg selalu siap siaga mengantarnya kemana saja yg dia mau, Oh..apakah ini sudah meruakan keluhan dan protes..?, ampuni aku ya allah bila tidak sabar menghadapi situasi ini.
Akhirnya disuatu sore yg cukup mendung, sebuah kejadian naas yg tak pernah aku harapkan menimpa istriku, tak kala aku sedang membenahi atap rumah bagian belakang yg sering bocor bila hujan tiba, aku tersentak dan sangat kaget saat mendapatkan kabar via telepon dari seorang akhwat teman istriku, yg mengabari bahwa istriku sedang dirawat di RS karena mengalami pendarahan hebat.., dan dokter tidak dapat menyelamatkan kandungannya, saat mendengar kabar itu aku sangat shock..tulang2ku kurasakan seolah tak nyambung lagi, meskipun belum lama hidup bersamaku sebagai seorang istri, meskipun waktunya hampir2 tak ada buatku setiap harinya tapi hatiku begitu sangat mencintainya.., dengan perasaan tak menentu aku berusaha menguatkan hatiku dan segera bergegas ke RS dimana istriku dirawat.., aku berusaha membuang jauh2 kesedihanku agar pada saat didepan istriku nanti, dia tidak akan bertambah sedih saat melihatku bersedih karena kejadian ini, Ya Allah aku tahu ini adalah ujian buat kami.., sabarkanlah kami ya Allah..
Pendengar Nurani yang baik
Dengan perasaan sedih yg aku sembunyikan dari wajahku, akhirnya aku tiba di RS dimana istriku dirawat, dokter melarangku untuk mengajaknya ngobrol banyak karena kondisinya masih lemah, namun saat itu istriku dalam keadaan sadar, perlahan kubuka pintu kamar dimana istriku diinapkan dan dirawat..kulihat ada ketegaran dimatanya meskipun dengan penuh tatapan sayu akibat kehilangan banyak darah..,saat itu niat hatiku ingin men”taziyah”inya agar tidak terbawah sedih dengan peristiwa itu, tapi belum sempat sekata aku ucapakan kalimat2ku untuk menghiburnya tiba2 suaranya dengan pelan justru mendahuluiku..
”Qadarullah kak.., insya Allah ia akan menjadi tabungan bagi kita diakhirat kelak, insya Allah, dan akan digantikan dengan yang lebih baik lagi.., sungguh saat ini Allah sedang menguji kita, dan insya Allah ini akan menjadi penyemangat buat ana untuk lebih giat lagi dalam menolong agama Allah..” ujarnya dalam kelemahannya
“Na’am dek.., kita harus pasrahkan segalanya kepada Allah, kk gak apa2 koq, insya Allah, Allah akan memberi kita lagi penggantinya dihari esok..”selaku mengomentari ungkapan istriku “tapi kk harap adek mengambil pelajaran dari perisitiwa ini.., agama memang membutuhkan orang2 sepertimu dek.., tapi.., afwan..kita juga harus memberi waktu buat diri kita sendiri, paling gak..pada saat-saat dalam kondisi kita yg tidak memungkinkan, sehingga kejadian ini tidak perlu terjadi, bu..bukan kk menyesali ini semua, tapi kk harap bila Allah memberi kita penggantinya, adek bisa sediiiikiit saja mengurangi kegiatan adek, agar amanah yg diberikan pada kita kelak juga bisa terjaga dengan baik insya Allah..” tambahku lagi.
“jadi kk menyalahkan ana dalam hal ini..?, kakak harus ingat bahwa segala sesuatu yg terjadi didunia ini sudah diatur oleh Allah azza wajallah, jadi kita tidak perlu menyalahkan keadaan, lagi pula kita sudah cukup berusaha untuk menjaga amanah ini.., tetapi ternyata Allah berkehendak lain yang tidak pernah kita harapakan kan?, jadi ana harap kita bisa dengan lapang pula menerima semua ini..” tegas istriku dengan nada agak sedikit bergetar, dan aku tahu argument itu keluar bersama luapan emosinya, entahlah mungkin dia tersinggung dengan perkataanku, mendengar semua itu aku hanya bisa mengangguk saja, agar masalahnya tidak panjang lagi, akupun tahu tabiat istriku yg tidak bisa ditentang kalau urusan dakwah, aku berusaha menekan perasaanku, akupun menyadari bahwah kapasitas ilmu syar’I yang aku miliki tidak sebanding dengan istriku, sehingga kalau bicara soal agama, aku masih selalu kalah argument dengannya bila pada kondisi2 tertentu aku menasehatinya atas sesuatu yg aku rasakan mengganjal dihatiku.
Waktu terus bergulir tanpa kompromi, dan perisitiwa yang menimpa keluargaku tersebut seolah tak memberi bekas pada istriku, semangatnya untuk berdakwah begitu gigihnya, semua berjalan seperti biasanya tanpa ada perbuahan sedikitpun, kesibukannya tetap masih sama begitu juga dengan volume perhatiannya padaku, semua masih sama, yang berubah hanyalah hari, bulan dan tahun terus berganti, aku sendiri mulai merasa jenuh dengan semua ini, apalagi berbagai argumenku, berbagai permintaanku tak satupun dipenuhi oleh istriku, bahkan yang membuat aku sangat kecewa, saking sibuknya dia dalam mengurus masalah ummat, 3x akhirnya kami harus kehilangan kesempatan untuk mendapatkan momongan, cabang bayi hasil cinta kami yang begitu aku harapakan, hanya bisa bertahan seumur jagung dalam rahimnya, meskipun aku tahu ini adalah qadarullah, tapi aku sangat kecewa.., aku sangat kecewa..karena istriku tak pernah mau mengerti dengan segala harapan yang ada dalam hatiku, mungkin bila ia tak memasak dan menyiapkan makan untukku tak jadi soal bagiku, mungkin dia tidak pernah punya sedikit waktu untukku juga tidak masalah, tapi bila ia juga seolah tak menghiraukan kesehatannya dan cabang bayinya, inilah yg membuat aku sangat kecewa.., apalagi usia pernikahan kami telah memasuki tahun ke 5 dan tak ada sedikitpun perubahan yg aku lihat darinya, tangisan bayi mungil yg begitu aku sangat inginkan hadir meramaikan suasana keluarga kamipun hanya tinggal khayalan semata, sebab gugurnya janin ke tiga kalinya yang ada dirahimnya akhirnya membuat dokter memvonis bahwa istriku hanya memiliki kemungkinan kecil untuk hamil lagi, rasanya aku ingin menangis saat itu, tapi aku berusaha menguatkkan hatiku, sebab aku adalah lelaki, aku malu terlihat cengeng dihadapan istriku, tapi untuk menasehati dan mengingatkannya rasanya aku telah letih, sebab aku tahu persis istriku memiliki tabiatnya keras, aku juga jenuh beradu argument dengannya.
Hingga suatu hari tepatnya bulan januari 2010 kemarin, saat aku melebarkan sayap bisnisku kesebuah kota kecil dipalopo Sulawesi selatan, akhirnya kuputuskan untuk menikah lagi disana. Dengan tidak menyembunyikan identitas dan statusku yg masih beristri, dan dengan menyampaikan alasan2ku untuk menikah lagi, akhirnya ada seorang temanku dipalopo mencarikan aku seorang wanita yg bersedia menerimaku apa adanya, menerimaku dengan segala kekurangan yg aku miliki, Alhamdulillah gadis ini termasuk salah seorang kader sebuah organisasi islam juga yg ada didaerahnya, namun sebelum aku menghitbah gdis tersebut, aku menyurati istriku dan menyampaikan niatku untuk menikah lagi, surat itu kukirimkan melalui jasa pengiriman kilat, hingga hanya dalam hitungan hari saja, Alhamdulillah surat itu telah sampai pada istriku, dan inilah isi suratku itu :
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu ‘alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Buatmu wahai aktifis dakwah sejati
Sebelumnya kk minta maaf dek.., apabila isi surat ini mengejutkanmu, tapi kk yakin bahwa kau adalah wanita tegar yang mampu menepis apapun dan pantang bersedih apalagi sampai mengeluarkan air mata, seperti ketegaranmu yang begitu tabah kehilangan 3x calon bayi kita, kk juga yakin bahwa isi surat ini tidak terlalu penting bagimu seperti halnya tidak pentingnya kehadiran kk dalam hidupmu, tapi satu hal yang ingin kk sampaikan padamu dek, bahwa semua ini berarti buat kk, dan bahwa semua ini teramat sangaat penting buat kk..karena isi surat ini menyangkut kebahagiaan kk, jujur, kk tidak mengkalim bahwa kk tidak bahagia denganmu dek, tapi kk hanya merasa bahwa kk tidak bisa membahagiakanmu, sebab setiap hari kk selalu memportes aktifitasmu, kk selalu mempersoalkan perhatianmu yang kurang buat kk, dan kau tahu dek, jujur sedih rasanya hati ini saat harus selalu bertengkar denganmu, sebab saat tu terjadi kk merasa seolah seperti lelaki jahat yg selalu mengekang kebebasanmu.., olehnya.., untuk menghindari semua ini, kk hanya ingin menyampaikan padamu dek, bahwa insya Allah pada hari ahad 24 januari nanti, kk akan menikah lagi dek, Alhamdulillah ada seorang wanita yg juga seorang akhwat yg mau menerima kk apa adanya, insya Allah setelah ini semua kk tidak akan meminta apa2 lagi darimu dek, kk tidak akan mempersoalkan perhatianmu lagi..kk juga tidak akanmempersoalkan waktumu lagi..dan paling penting sudah ada seorang wanita yg mau memahami kk, yang mau menyiapkan sarapan pagikk, makan siang dan malam kk, dan mau memperhatikan keluarganya tanpa mengenyampingkan urusan ummat, insya Allah meskipun kk tidak mampu menyamai adilnya Rasulullah dalam memperlakukan istri2nya, tapi kk akan selalu berusaha untuk bersikap adil pada kalian berdua, kk yakin sebagai aktifis dakwah sejati kau memahami semua ini, bahkan semua ini insya Allah akan membantumu dek untuk lebih focus pada kegiatan2mu dan juga urusan2 dakwahmu..
Sekian dulu surat dari kk, semoga adek saying mau memahaminya dan bisa bijaksana dalam menyikapinya.
Wassalam
Suamimu
Slamet
Pendengar nurani yang budiman
Aku tak tahu bagaimana perasaannya saat itu, sebab sesampainya surat itu hingga hari H pernikahanku, salma tak menghubungiku sama sekali, dan mengenai hal pernikahanku yg kedua itupun kedua orang tuaku dan keluarga salma kukabari, kusampaikan dengan bijak segala penyebab dan alasan2ku, aku sampaikan pula pada mereka bahwa aku tidak berniat menceraikan salma, dan mereka memahaminya, dan Alhamdulillah saat ini dalam rahim istriku telah tumbuh benih2 cinta kami yang saat ini berusia 8 bulan, sebab 4 bulan setelah pernikahan kami itu, Allah mengaruniakan pada kami amanah besar yakni buah cinta kami berdua, sementara untuk urusan nafkah aku berusaha selalu memenuhi kebutuhan keduanya, baik nafkah lahir maupun bathinnya..
Wassalamu ‘alaikum.
sumber : berbagi-karya.blogspot.com/2010/12/kisah-nyata-sarat-hikmah-teruntuk.html?m=1
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..
Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35
Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..
Baarakallahu Fiikum..
AFWAN, IKHWAN ITU PACAR SAYA
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..
Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35
Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..
Baarakallahu Fiikum..