Arsip Blog

Kisah Nyata Sarat Hikmah ” Teruntuk Akhwat Aktifis Dakwah “

image

Bismillahirrohmaanirrohiim ..

Teruntuk akhwat para pejuang dakwah, di bawah ini ada kisah nyata yang bisa kita ambil hikmahnya sebagai cerminan kelak saat berkeluarga ataupun yang sekarang sudah berkeluarga.

Selamat membaca ^_^d

Dari slamet di Kota Sigibiomaru Kab Sigi Sul-Teng

Assalamu ‘alaikum..

Pendengar nurani yang baik

Ini adalah sekelumit kisahku, yang dengan ini semua aku sangat berharap dapat menggugah hati-hati kita yang hingga hari ini tak mampu membagi waktu dengan baik, sehingga banyak hal yang kita abaikan yang konsekuensinya besar akibat dari ketidak mampuan kita memanaj waktu kita, aku adalah seorang suami dari seorang istri yg bernama Salma, kami menikah 5 tahun silam, tepatnya pada tahun 2005..

Pernikahan kami seperti pada umumnya melalui proses yang syar’i sebagaimana anjuran islam, karena alhamdulillah kami berdua terlahir dari sebuah organisasi islam yang terkenal sangat eksis dengan dakwahnya, meskipun secara dzohirnya keterlibatanku dalam dakwah ini belum seberapa. Dalam keseharianku, aku menjalani rutinitas sebagai seorang pedagang kecil-kecilan, namun Alhamdulillah usaha itu sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluargaku dan sedikitnya dapat memberi kontribusi pada dakwah dinullah.., sementara istriku “salma”, beliau dikenal sebagai aktifis tulen yang sejak masa gadisnya dia persembahkan hidupnya untuk dakwah ini, salma dalam tataran organisasi adalah seorang pengurus aktif organisasi sehingga seperti aktifis pada umumnya banyak kegiatan yg beliau ikuti, mulai dari mengisi liqo’, mengajar, dll yang seolah bila kita menyaksikannya mungkin kita akan merasa “mampukah aku seperti dia?, subhanallah”, seolah memiliki seribu nyawa yg tak pernah kenal letih mengusung dakwah ini.  Bahkan banyak orang yg bangga pada kegigihan beliau. Itulah sosok istriku dimasa gadisnya

Semula aku mengira bahwa padatnya aktifitas salma akan berkurang setelah menikah denganku, apalagi setelah 3 pekan pasca walimah kami Alhamdulillah salma dinyatakan oleh dokter positif hamil, meskipun sebagai suami aku memberikan kebebasan sepenuhnya pada istriku untuk berkreasi apalagi untuk urusan ummat, Demi Allah aku selalu mendukungnya, bahkan tak jarang aku turut membiayai gerak langkahnya dalam dakwah bilkhusus pada kegiatan2 positif yg bersumber dari ide2nya. hidup sebagai sepasang suami – istri dengan kesibukan yg padat begitu sangat kami nikmati, volume berjumpa dan berkomunikasi antara kamipun terjadi hanya bisa dihitung dengan jari, yaitu hanya pada pagi sebelum berangkat ketempat kerja masing2, kemudian menjemputnya lagii untuk selanjutnya mengantarnya ketempat yg lain dengan agenda yg lain dan begitu seterusnya hingga kujemput malam hari lagi setelah tuntas segala rutinitasnya, kami menikmati semua itu, hingga akhirnya ketika memasuki 3 bulan pasca penikahan kami.

Waktu jualah  yg mengantarkan aku pada sebuah kenyataan, bahwa sebenarnya aku merindukan kebersamaan dengan istriku,  makan bersamanya, ngobrol bersamanya dan menjalani kehidupan normal dimana meskipun ditengah kesibukkan yg padat tetapi masing2 masih dapat menyisihkan waktu untuk menjalani kebersamaan itu , walau hanya sebatas makan siang atau apa saja, dan untuk mewujudkan semua itu, aku mulai mengurangi aktifitas bisnisku dan mengamanahkan kepada orang lain yg tentunya orang kepercayaanku untuk mengelola bisnis kecil2an itu, dengan harapan agar salma juga dapat sedikit saja mengurangi aktifitasnya dan menyisihkan waktu untukku, tetapi kenyataan itu tak kunjung dating, diberbagai situasi khususnya pada saat ada waktu luang untuk bersamanya, aku selalu mengangkat masalah ini dengan gaya bahasa mesra dan romantis, hmmmm (sambil menarik nafas) tapi salma ternyata selalu punya alasan untuk berkilah yg membuat aku akhirnya hanya bisa terpaku dalam diam, alasan2 yg cukup kuat dan masuk akal, yg isinya kurang lebih mengandung nilai2 motofasi untuk selalu giat berdakwah dan berjuang untuk agama ini, tapi meski demikian aku selalu tak bosan2nya untuk mengingatkan dia akan keinginaku tersebut. Jujur tidak ada sedikitpun niatku untuk membatasi ruang lingkup salam dalam dakwah ini, aku bahkan bangga padanya karena memiliki ghirah yg besar untuk perjuangan ini.., tapi salahkah juga aku bila sebagai suami  menginginkan sedikit waktu darinya untuk sekedar berbagi atau makan siang sekali aja.., sebab menanti waktu datangnya malampun salma sepertinya tak maksimal memberi waktu untukku, dan aku tak dapat memprotes hal itu sebab memang jelas Nampak keletihan diwajahnya bila sudah kembali kerumah pada malam hari, aku bahkan kadang merasa kasihan melihat istriku selalu pulang dalam keadaan letih, selain dirinya aku juga menghawatirkan janin yg ada dalam kandungannya yg baru memasuki usia 3 bulanan, janin yg kelahirnya sangat kami harapkan.

Jujur kadang aku merasa sedih sendiri bila menyadari kenyataan ini, bahkan aku merasa bahwa “Apakah perasaanku ini akibat dari tidak adanya kesibukanku dalam dakwah ini sehingga aku tidak bisa merasai apa yg istriku rasakan..?”, Ya Allah ampuni aku bila sikapku ini berlebihan, aku hanya ingin merasai manisnya diperhatikan oleh istri tercinta, saat dimana sarapan pagi, siang dan malamku disiapkan, ketika aku membutuhkannya dia selau ada, tapi apa yg aku rasakan saat ini, setiap hari semenjak 2 pekan setelah menikah dan dia kembali terjun dalam aktifitasnya, kebiasaan2 itu tak pernah lagi aku rasakan, dimana sarapan pagiku harus kusiapkan sendiri bahkan kadang terpaksa sarapan pagi diluar sehabis mengantarnya ketempat aktifitasnya, begitu juga dengan makan siang dan malamku, aku sebetulnya berusaha untuk tidak memprotes akan semua ini, tapi hatiku merasa sangat hambar sekali, aku merasa seolah belum menikah dengan siapapun, aku juga merasa sepertinya aku tidak beristri, dan paling parah yg aku rasakan sepertinya aku hanyalah tukang ojek yg selalu siap siaga mengantarnya kemana saja yg dia mau, Oh..apakah ini sudah meruakan keluhan dan protes..?, ampuni aku ya allah bila tidak sabar menghadapi situasi ini.

Akhirnya disuatu sore yg cukup mendung, sebuah kejadian naas yg tak pernah aku harapkan menimpa istriku, tak kala aku sedang membenahi atap rumah bagian belakang yg sering bocor bila hujan tiba, aku tersentak dan sangat kaget saat mendapatkan kabar via telepon dari seorang akhwat teman istriku, yg mengabari bahwa istriku sedang dirawat di RS karena mengalami pendarahan hebat.., dan dokter tidak dapat menyelamatkan kandungannya, saat mendengar kabar itu aku sangat shock..tulang2ku kurasakan seolah tak nyambung lagi, meskipun belum lama hidup bersamaku sebagai seorang istri, meskipun waktunya hampir2 tak ada buatku setiap harinya tapi hatiku begitu sangat mencintainya.., dengan perasaan tak menentu aku berusaha menguatkan hatiku dan segera bergegas ke RS dimana istriku dirawat.., aku berusaha membuang jauh2 kesedihanku agar pada saat didepan istriku nanti, dia tidak akan bertambah sedih saat melihatku bersedih karena kejadian ini, Ya Allah aku tahu ini adalah ujian buat kami.., sabarkanlah kami ya Allah..

Pendengar Nurani yang baik

Dengan perasaan sedih yg aku sembunyikan dari wajahku, akhirnya aku tiba di RS dimana istriku dirawat, dokter melarangku untuk mengajaknya ngobrol banyak karena kondisinya masih lemah, namun saat itu istriku dalam keadaan sadar, perlahan kubuka pintu kamar dimana istriku diinapkan dan dirawat..kulihat ada ketegaran dimatanya meskipun dengan penuh tatapan sayu akibat kehilangan banyak darah..,saat itu niat hatiku ingin men”taziyah”inya agar tidak terbawah sedih dengan peristiwa itu, tapi belum sempat sekata aku ucapakan kalimat2ku untuk menghiburnya tiba2 suaranya dengan pelan justru mendahuluiku..

”Qadarullah kak.., insya Allah ia akan menjadi tabungan bagi kita diakhirat kelak, insya Allah, dan akan digantikan dengan yang lebih baik lagi.., sungguh saat ini Allah sedang menguji kita, dan insya Allah ini akan menjadi penyemangat buat ana untuk lebih giat lagi dalam menolong agama Allah..” ujarnya dalam kelemahannya

“Na’am dek.., kita harus pasrahkan segalanya kepada Allah, kk gak apa2 koq, insya Allah, Allah akan memberi kita lagi penggantinya dihari esok..”selaku mengomentari ungkapan istriku “tapi kk harap adek mengambil pelajaran dari perisitiwa ini.., agama memang membutuhkan orang2 sepertimu dek.., tapi.., afwan..kita juga harus memberi waktu buat diri kita sendiri, paling gak..pada saat-saat dalam kondisi kita yg tidak memungkinkan, sehingga kejadian ini tidak perlu terjadi, bu..bukan kk menyesali ini semua, tapi kk harap bila Allah memberi kita penggantinya, adek bisa sediiiikiit saja mengurangi kegiatan adek, agar amanah yg diberikan pada kita kelak juga bisa terjaga dengan baik insya Allah..” tambahku lagi.

“jadi kk menyalahkan ana dalam hal ini..?, kakak harus ingat bahwa segala sesuatu yg terjadi didunia ini sudah diatur oleh Allah azza wajallah, jadi kita tidak perlu menyalahkan keadaan, lagi pula kita sudah cukup berusaha untuk menjaga amanah ini.., tetapi ternyata Allah berkehendak lain yang tidak pernah kita harapakan kan?, jadi ana harap kita bisa dengan lapang pula menerima semua ini..” tegas istriku dengan nada agak sedikit bergetar, dan aku tahu argument itu keluar bersama luapan emosinya, entahlah mungkin dia tersinggung dengan perkataanku, mendengar semua itu aku hanya bisa mengangguk saja, agar masalahnya tidak panjang lagi, akupun tahu tabiat istriku yg tidak bisa ditentang kalau urusan dakwah, aku berusaha menekan perasaanku, akupun menyadari bahwah kapasitas ilmu syar’I yang aku miliki tidak sebanding dengan istriku, sehingga kalau bicara soal agama, aku masih selalu kalah argument dengannya bila pada kondisi2 tertentu aku menasehatinya atas sesuatu yg aku rasakan mengganjal dihatiku.

Waktu terus bergulir tanpa kompromi, dan perisitiwa yang menimpa keluargaku tersebut seolah tak memberi bekas pada istriku, semangatnya untuk berdakwah begitu gigihnya, semua berjalan seperti biasanya tanpa ada perbuahan sedikitpun, kesibukannya tetap masih sama begitu juga dengan volume perhatiannya padaku, semua masih sama, yang berubah hanyalah hari, bulan dan tahun terus berganti, aku sendiri mulai merasa jenuh dengan semua ini, apalagi berbagai argumenku, berbagai permintaanku tak satupun dipenuhi oleh istriku, bahkan yang membuat aku sangat kecewa, saking sibuknya dia dalam mengurus masalah ummat, 3x akhirnya kami harus kehilangan kesempatan untuk mendapatkan momongan, cabang bayi hasil cinta kami yang begitu aku harapakan, hanya bisa bertahan seumur jagung dalam rahimnya, meskipun aku tahu ini adalah qadarullah, tapi aku sangat kecewa.., aku sangat kecewa..karena istriku tak pernah mau mengerti dengan segala harapan yang ada dalam hatiku, mungkin bila ia tak memasak dan menyiapkan makan untukku tak jadi soal bagiku, mungkin dia tidak pernah punya sedikit waktu untukku juga tidak masalah, tapi bila ia juga seolah tak menghiraukan kesehatannya dan cabang bayinya, inilah yg membuat aku sangat kecewa.., apalagi usia pernikahan kami telah memasuki tahun ke 5 dan tak ada sedikitpun perubahan yg aku lihat darinya, tangisan bayi mungil yg begitu aku sangat inginkan hadir meramaikan suasana keluarga kamipun hanya tinggal khayalan semata, sebab gugurnya janin ke tiga kalinya yang ada dirahimnya akhirnya  membuat dokter memvonis bahwa istriku hanya memiliki kemungkinan kecil untuk hamil lagi, rasanya aku ingin menangis saat itu, tapi aku berusaha menguatkkan hatiku, sebab aku adalah lelaki, aku malu terlihat cengeng dihadapan istriku, tapi untuk menasehati dan mengingatkannya rasanya aku telah letih, sebab aku tahu persis istriku memiliki tabiatnya keras, aku juga jenuh beradu argument dengannya.

Hingga suatu hari tepatnya bulan januari 2010 kemarin, saat aku melebarkan sayap bisnisku kesebuah kota kecil dipalopo Sulawesi selatan, akhirnya kuputuskan untuk menikah lagi disana. Dengan tidak menyembunyikan identitas dan statusku yg masih beristri, dan dengan menyampaikan alasan2ku untuk menikah lagi, akhirnya ada seorang temanku dipalopo mencarikan aku seorang wanita yg bersedia menerimaku apa adanya, menerimaku dengan segala kekurangan yg aku miliki, Alhamdulillah gadis ini termasuk salah seorang kader sebuah organisasi islam juga yg ada didaerahnya, namun sebelum aku menghitbah gdis tersebut, aku menyurati istriku dan menyampaikan niatku untuk menikah lagi, surat itu kukirimkan melalui jasa pengiriman kilat, hingga hanya dalam hitungan hari saja, Alhamdulillah surat itu telah sampai pada istriku, dan inilah isi suratku itu :
Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamu ‘alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Buatmu wahai aktifis dakwah sejati

Sebelumnya kk minta maaf dek.., apabila isi surat ini mengejutkanmu, tapi kk yakin bahwa kau adalah wanita tegar yang mampu menepis apapun dan pantang bersedih apalagi sampai mengeluarkan air mata, seperti ketegaranmu yang begitu tabah kehilangan 3x calon bayi kita, kk juga yakin bahwa isi surat ini tidak terlalu penting bagimu seperti halnya tidak pentingnya kehadiran kk dalam hidupmu, tapi satu hal yang ingin kk sampaikan padamu dek, bahwa semua ini berarti buat kk, dan bahwa semua ini teramat sangaat penting buat kk..karena isi surat ini menyangkut kebahagiaan kk, jujur, kk tidak mengkalim bahwa kk tidak bahagia denganmu dek, tapi kk hanya merasa bahwa kk tidak bisa membahagiakanmu, sebab setiap hari kk selalu memportes aktifitasmu, kk selalu mempersoalkan perhatianmu yang kurang buat kk, dan kau tahu dek, jujur sedih rasanya hati ini saat harus selalu bertengkar denganmu, sebab saat tu terjadi kk merasa seolah seperti lelaki jahat yg selalu mengekang kebebasanmu.., olehnya.., untuk menghindari semua ini, kk hanya ingin menyampaikan padamu dek, bahwa insya Allah pada hari ahad 24 januari nanti, kk akan menikah lagi  dek, Alhamdulillah ada seorang wanita yg juga seorang akhwat yg mau menerima kk apa adanya, insya Allah setelah ini semua kk tidak akan meminta apa2 lagi darimu dek, kk tidak akan mempersoalkan perhatianmu lagi..kk juga tidak akanmempersoalkan waktumu lagi..dan paling penting sudah ada seorang wanita yg mau memahami kk, yang mau menyiapkan sarapan pagikk, makan siang dan malam kk, dan mau memperhatikan keluarganya tanpa mengenyampingkan urusan ummat, insya Allah meskipun kk tidak mampu menyamai adilnya Rasulullah dalam memperlakukan istri2nya, tapi kk akan selalu berusaha untuk bersikap adil pada kalian berdua, kk yakin sebagai aktifis dakwah sejati kau memahami semua ini, bahkan semua ini insya Allah akan membantumu dek untuk lebih focus pada kegiatan2mu dan juga urusan2 dakwahmu..

Sekian dulu surat dari kk, semoga adek saying mau memahaminya dan bisa bijaksana dalam menyikapinya.

Wassalam

Suamimu

Slamet

Pendengar nurani yang budiman

Aku tak tahu bagaimana perasaannya saat itu, sebab sesampainya surat itu hingga hari H pernikahanku, salma tak menghubungiku sama sekali, dan mengenai hal pernikahanku yg kedua itupun kedua orang tuaku dan keluarga salma kukabari, kusampaikan dengan bijak segala penyebab dan alasan2ku, aku sampaikan pula pada mereka bahwa aku tidak berniat menceraikan salma, dan mereka memahaminya, dan Alhamdulillah saat ini dalam rahim istriku telah tumbuh benih2 cinta kami yang saat ini berusia 8 bulan, sebab 4 bulan setelah pernikahan kami itu, Allah mengaruniakan pada kami amanah besar yakni buah cinta kami berdua, sementara untuk urusan nafkah aku berusaha selalu memenuhi  kebutuhan keduanya, baik nafkah lahir maupun bathinnya..

Wassalamu ‘alaikum.

sumber : berbagi-karya.blogspot.com/2010/12/kisah-nyata-sarat-hikmah-teruntuk.html?m=1

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..

Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35

Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..

Baarakallahu Fiikum..

RAHASIA DIBALIK PAHITNYA DIMADU

Syaikh Utsman al-khamis – hafidzahullah- seorang ulama dari Kuwait bercerita:

Saya pergi ke kampus sambil mengendarai mobil jadul saya, maklumlah mobil mahasiswa, tapi walaupun model lama larinya masih kencang loh.

Biasanya sambil menyetir saya mendengar radio Idza’atul Quran atau ceramah dan pelajaran dari para ulama lewat mp3…
Dari pada kesal sama sopir-sopir saudi di lampu merah lebih baik dengar yang bermanfaat, orang Saudi kalau nyetir semau gue, jalan raya dikirain shahra’ (padang pasir).

Waktu itu di Idza’atul Quran ada syaikh Said bin Musfir Al-Qahtani –hafidzahullah- seorang Da’i terkenal di Saudi Arabia. Syaikh Said bercerita tentang seorang perempuan yang menelpon beliau sambil menangis.

Apa gerangan yang terjadi ?

Ternyata ia dimadu, bukan manisnya madu yang dirasa tapi pahitnya empedu, karena pahit tak tertahan lagi, air mata mengalir sendiri.

Syaikh bertanya kepadanya, “Apakah kamu senang suamimu berzina dengan perempuan lain atau menikah dengannya?”

“Menikah,” jawabnya.

“Bukankah kamu setiap hari sibuk mencuci, memasak, mengurus anak-anak dan mengatur rumah tangga?”

“Iya”

“Apakah merupakan sebuah kesalahan jika tugasmu itu dibagi dengan saudari muslimahmu, sehingga engkau pada hari yang suamimu tidak berada bersamamu,
engkau bisa berpuasa sunnah yang mungkin sudah kamu tinggalkan karena mengurus suamimu, membaca Al-Quran yang banyak terhalang oleh pekerjaanmu, shalat malam yang tak bisa kau lakukan karena bersama suamimu”.

Sebulan kemudian…

Kriing, kriing… telepon berbunyi.
Ternyata wanita itu telepon lagi.

” Apakah Syaikh masih ingat saya? Saya adalah perempuan yang menelpon Syaikh, yang mengadukan suaminya yang telah menikah lagi”

“Apakah yang terjadi?” Tanya Syaikh.

Perempuan itu bercerita, kemudian perempuan itu berkata, “Saya memilki satu permintaan?”

“Apakah itu?”

“Engkau menasehati para istri agar menyuruh suaminya kawin lagi!”

“Kalau itu permintaannya, saya tidak mau mengabulkannya,” jawab Syaikh Said bin Musfir Al-Qahtani.

Saya akhirnya mengetahui kalau ta’addud itu adalah baik untuk istri pertama, kedua dan masyarakat pada umumnya.

(FP STDI Imam Syafi’i – Jember)

sumber : gizanherbal.wordpress.com/2014/01/07/rahasia-dibalik-pahitnya-dimadu/

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Kini Kami membuka pendaftaran Whats App Dakwah..
Serta Dapatkan WA Dakwah berupa Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam & Kata-kata mutiara dari para Ulama Serta Ahli Hikmah Lainnya.. Daftarkan Segeraa..

Ketik : NAMA#KOTA TINGGAL#UMUR
Kirim ke : 0856-9150-9160
Contoh : RINI#BANDUNG#35

Hanya bisa Mendaftarkan diri melalui Whats App..

Baarakallahu Fiikum..

Aku Wanita Yang Di Poligami

Aku menikah muda. Kala itu, usiaku tak lebih dari 19 tahun dan baru saja lulus SMU. Wanita yang kuperisteri saat itu bahkan baru 16 tahun. Ia hanya lulus SLTP, karena keluarganya pun seperti keluargaku, miskin, tak punya cukup biaya untuk menyekolahkan anaknya lebih tinggi.

Namaku Arman, dan isteriku Salimah. Kami tinggal di sebuah dusun, yang termasuk wilayah sebuah desa kecil, di sisi barat Jawa.

Di desa kami, usia seperti kami bukanlah usia muda untuk menikah, minimal untuk ukuran pada masa itu. Pada zaman sekarang, ukuran itu memang sudah mengalami dinamika. Makin sedikit saja pasangan muda yang menikah. Berbanding lurus dengan makin banyak pula wanita-wanita yang telat menikah. Meski jumlahnya tak sebanyak di kota-kota besar.

Kami menjalani pernikahan dengan segala suka duka yang kami alami. Latar belakang kami dari keluarga yang cukup religious, meski tradisional. Dalam arti, kami masih terbiasa hidup dalam nuansa yang menggabungkan nilai-nilai religi Islam, dengan adat tradisional. Orang Sumatra menyebut kami dari kalangan kaum tua.

Aku kurang begitu mengerti soal itu. Meski setelah beberapa tahun menikah, aku mulai sedikit mendalami agama melalui beberapa orang ustadz, di musholla dekat rumah. Lewat mereka, aku mulai dikenalkan dengan upaya banyak ulama untuk menjernihkan agama dari pengaruh bid’ah dan khurofat. Aku sangat memahami paparan-paparan mereka. Tapi, tentu sulit bagi keluarga kami, untuk meninggalkan berbagai tradisi nenek moyang yang sudah lama kami jalankan. Meski kami tahu, sebagian di antaranya berbau kemusyrikan. Wal ‘iyyaadzu billah.

Kedua orang tuaku, yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan kami di desa yang sama, juga mengikuti perkembangan tersebut. Mereka juga sepertiku, sulit meninggalkan tradisi lama kami. Tapi, minimal aku mengerti, bahwa mereka tidak lagi apatis terhadap pemahaman-pemahaman seperti yang disampaikan oleh para ustadz secara bergiliran, di musholla kami itu. Meski kecil, tapi cukup membanggakan, karena setidaknya ada 2 taklim dalam sepekan.

Selain dua majelis itu, kadang beberapa ustadz senior di desa kami yang berpemahaman kaum tua, juga ikut mengisi. Wajarlah, bila akhirnya sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan jama’ah yang hadir. Pro dan kontra.

Aku tidak akan berbicara banyak soal itu. Aku hanya ingin menceritakan kepada pembaca, tentang perjalanan hidup rumah tangga kami.

***
Tak terasa, sudah 10 tahun kami berumah tangga. Umurku kini menginjak 30 tahun, sementara isteriku 26 tahun. Kami sudah dianugerahi 3 orang anak. Yang sulung sudah 9 tahun.

Selama satu dasawarsa tersebut, di antara kami sudah terjalin saling pengertian yang cukup manis. Setidaknya, begitulah dalam pandangan kami. Mengingat banyak teman yang menikah di rentang usia mirip dengan kami, tapi rumah tangganya terbilang kacau balau. Sering mengalami percekcokan yang nyaris tak berujung. Bahkan tak sedikit yang akhirnya bercerai, hanya setelah 3 atau 4 tahun menikah.

Kegamangan pertama rumah tangga kami, terjadi beberapa bulan lalu, saat hamper masuk tahun ke sebelas pernikahan. Ibunda Salimah, yang sangat dicintai dan mencintai isteriku meninggal dunia. Usianya baru 48 tahun. Beliau wafat karena penyakit paru-paru yang tak kunjung sembuh. Dan kami memang tak punya cukup uang untuk melakukan perobatan secara rutin dan memadai. Meski bagaimanapun, semua itu sudah taqdir, dan kami tabah menerimanya.

Walau begitu, isteriku tetap dilanda kesedihan sedemikian rupa. Meski tak menimbulkan prahara dalam rumah tangga, tapi sontak ia berubah menjadi pendiam. Di antara 6 bersaudara –yang kesemuanya sudah menikah dan punya anak-, ia memang yang paling disayang sang ibu. Karena sangat disayang itulah, isteriku menjadi anak yang paling terpukul oleh meninggalnya beliau, berbeda dengan saudara lainnya, yang meskipun bersedih, namun tak terlihat mengalami kegoncangan berarti.

Kesedihan bertambah, saat aku diberhentikan dari perusahaanku. Di situ, aku memang hanya bekerja sebagai satpam. Tanpa aku tahu sebabnya, ada pengurangan jumlah tenaga sekuriti, dan aku termasuk yang di-PHK. Alasan mereka, sebagian besar satpam yang ada adalah veteran tentara. Mereka lebih membutuhkan pekerjaan itu dibanding diriku.

Yah, apa mau dikata. Aku menjadi satpam memang hanya bermodal sabuk hitam karate yang kumiliki. Ijazah relative tak dibutuhkan untuk pekerjaan itu. Akhirnya, aku menganggur beberapa bulan. Namun, Alhamdulillah, aku kembali diterima sebagai sekuriti di perusahaan lain yang lebih kecil, dengan gaji yang tentunya juga lebih sedikit. Tapi aku menerimanya dengan senang hati.

Kedukaan, ditambah dengan kondisi perekonomian keluarga yang semakin surut, membuat rumah tangga kami mengalami masa-masa kritis. Keramahtamahan dan keakraban kami ulai berkurang. Meski, kami bukan tipikal suami isteri yang senang bertengkar. Nyaris tak pernah terjadi percekcokan di antara kami, kecuali dengan hanya ‘marah-marahan’ kecil saja.

Saat itu, aku semakin rajin mengikuti taklim pekanan, terutama hari selasa malam. Isteriku juga ikut serta, bersama banyak warga kampong yang memenuhi musholla kecil itu.

Kajian malam itu membahas tentang keluarga sakinah. Suatu saat, pembahasan menyentuh soal poligami. Aku dan isteriku, cukup terperanjat. Baru saat itu, kami memahami bahwa poligami dalam Islam ternyata begitu kompleks pembahasannya. Selama ini aku hanya mengetahui bahwa pria muslim diperbolehkan melakukan poligami, dengan syarat mampu berlaku adil. Ternyata, hukum poligami juga beragam, tergantung pada situasi, kondisi –baik pribadi maupun orang lain yang ikut terlibat dalam praktik poligami tersebut-, dan banyak hal lainnya.

Di situ, Ustadz MZ juga menjelaskan bahwa banyak orang yang melakukan poligami, tanpa mengikuti aturan, adab, dan etika berpoligami yang ada dalam Islam, sehingga justru menimbulkan citra buruk di masyarakat. Aku terperangah. Ya, tak sedikit kenyataan seperti itu, yang juga aku saksikan pada banyak pelaku poligami.

Padahal, secara umum poligami itu dibenarkan syari’at, meski hokum asalnya adalah mubah dengan syarat. Jadi diperbolehkan saja, tak sampai dianjurkan. Namun bisa berbeda-beda hukumnya, tergantung bagi siapa dan dalam kondisi bagaimana.

Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin menjelaskan,
“Poligami disunnahkan bagi orang yang mampu melakukannya dan bertujuan untuk menjaga kemaluannya serta pandangan matanya dari maksiat, selain juga untuk memperbanyak keturunan dan untuk memotivasi masyarakat Islam agar melakukan perbuatan serupa –dengan tujuan-tujuan yang sama-, sehingga mereka tidak perlu lagi melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Alloh. Mereka bisa menggunakan poligami untuk memperbanyak generasi Islam dan memperbanyak orang-orang yang beribadah kepada Alloh di muka bumi, atau untuk tujuan-tujuan baik lainnya.

Dalilnya adalah firman Alloh (artinya),
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita alin yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” {QS. An-Nisaa’:3}

Demikian juga firman Alloh (artinya),
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rosululloh itu suri teladan..” {QS. Al-Ahzaab: 21}

Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam sendiri memiliki beberapa orang isteri, dan beliau selalu bersikap adil di antara mereka. Beliau pernah berkata,
“Yaa Alloh, inilah yang bisa kulakukan, maka janganlah Engkau mencelaku karena sesuatu yang tidak mampu kulakukan.” Dikeluarkan oleh ashhaabus sunan denga sanad yang shohih. MAksudnya, bahwa sikap adil itu wajib sebatas yang mampu dilakukan oleh manusia, seperti memberi nafkah, mengatur giliran bermalam dan sejenisnya. Adapun cinta kasih dan ‘hubungan seks’, bukanlah sesuatu yang berada dalam kemampuan manusia untuk menciptakannya.

Sesampainya di rumah, aku dan isteriku mendiskusikan kembali soal poligami tersebut. Aneh, isteriku juga menanggapinya tidak dengan dingin, bahkan seringkali ditimpali canda tawa. Biasanya, umumnya wanita tak tertarik membahas poligami. Karena biasanya juga, ketika membayangkan suaminya akan memadu dirinya, sudut pandangnya pada poligami otomatis jadi tidak jelas, cenderung berbaur sinisme. Bahkan ada yang sontak memarahi suaminya, hanya karena secara tak sengaja menyinggung-nyinggung topik poligami. Meski belum terbersit keinginan untuk melakukannya!

Hingga larut malam, kami sibuk membahas soal-soal poligami, yang bagi kami menarik, dan banyak hal yang tak kami ketahui sebelumnya tentang topik ini.

“Kalau aku dipoligami, gimana ya?” tiba-tiba isteriku berkata begitu. Aku terperangah.

Aku sendiri, tak pernah berpikir soal poligami. Apalagi, kondisi perekonomian kami yang seperti ini, membuatku tahu diri untuk sekedar memampirkan topik poligami ke dalam benakku.

“Wah, memangnya kamu mau?”

“Gak tahu ya. Aku hanya membayangkan, kalau aku hidup bersama suami dan maduku , gimana ya?” Ia mengatakan itu, sambil tersenyum lebar. Aku jadi ikut geli melihatnya.

Lewat tengah malam, pembicaraan kami terhenti. Dan setelah itu –aneh sekali- hubungan kami menjadi cair lagi. Seolah-olah kedukaan yang merambati hati isteriku dalam beberapa bulan ini, pupus sama sekali. Hari-hari selanjutnya, kembali kami lalui dengan suasana bahagia. Betapa sejuk dada ini.

*****

2 bulan setelah itu, ada hal yang mengejutkan buat kami. Isteriku, didatangi tamu seorang wanita berusia 34 tahun. Berarti empat tahun lebih tua dariku, dan 8 tahun lebih tua dari isteriku.

Ia juga sudah beberapa bulan mengikuti pengajian di musholla kami. Ia berasal dari desa sebelah, hanya 1 kilometer dari rumah kami. Isteriku juga sudah sering berjumpa dengannya di pengajian. Ia dating dengan hijab sempurna (setidaknya menurut ukuranku). Ukuran jilbabnya lebih lebar dari jilbab isteriku.

Selama hampir dua jam, ia berada di kamar bersama isteriku. Mereka terlibat obrolan panjang, yang kadang diselingi dengan tawa ringan. Terlihat betul keakraban mereka. Padahal setahuku mereka belum lama saling mengenal. Bahkan ini pertama kalinya wanita itu dating ke rumahku. Isteriku sendiri, meskipun supel, tapi tak pernah begitu mudah mudah menjadi akrab dan berbicara begitu lepas seperti saat ini.

Di luar, di ruang tamu, aku duduk sendirian sambil membaca buku. Tak lama, wanita itu keluar. Ia menghadap ke arahku yang berada di pojok ruangan, di atas kursi, dengan membentuk kedua tangan bersalaman dari jauh.

“Saya pamit pulang dulu, Mas Arman…” Ujarnya lembut.
“O ya, ya, silahkan…”

Sepulang wanita tersebut, isteriku berhambur ke ruang tamu. Ada senyum tersungging di wajahnya.
“Kenapa, kok senyum-senyum gitu. Menang arisan ya?”

“Enggak, kok mas. Lagi senang aja…”

“Senang kenapa?”

“Mas, kamu saying sama aku gak?”

“Loh, kok pake nanya kayak gitu. Ya saying dong.”

“Begini. Tapi janji, mas jangan marah ya?”

“Ada apa dulu?”

“Pokoknya janji dulu, gak marah, baru aku ngomong.”

“Oke, aku janji.”

“Begini, mas. Menyambung obrolan kita malam itu…”

Hatiku tiba-tiba merasa aneh.

“Sepertinya, aku mau mewujudkan apa yang aku bilang waktu itu…”

“Maksudmu?”

“Bagaimana, kalau mas menikahi mbak Ratna yang tadi bertamu ke sini?”

Dadaku kini berdegup.

“Dia masih gadis dan perawan, Mas. Sampai sekarang belum menikah. Wajahnya lumayan cantik kan, Mas, gak kalah denganku? Aku mau, Mas menikahinya untukku…”

“Maksudmu..”

“Ya. Aku mau, Mas berpoligami. Tapi bukan dengan wanita lain, dengan mbak Ratna itu. Aku merasa cocok dengannya, Mas. Aku juga ingin membantunya, kasihan dia gak nikah-nikah seusia itu. Padahal, yang mau sama dia banyak. Tapi, tadi dia bilang, dia mau kalau yang menikahinya adalah Mas…”

Mataku berkunang-kunang. Perasaanku campur aduk. Aku kehilangan kata untuk menjawab tawaran isteriku yang begitu tiba-tiba, dan sama sekali tak pernah terpikir olehku.

“Jangan khawatir, Aku rela kok, dia menjadi maduku, Mas.”

“Kenapa dia mau aku nikahi?” Kini aku balik bertanya.

“Gak tahu juga, Mas. Tapi yang jelas, saat melihatmu keluar bersamaku dari pengajian, dia kok merasa tertarik ingin menjadi isteri Mas. Makanya, ia memberanikan diri berbicara denganku tadi…”

“Tapi, aku belum pantas berpoligami, Adinda…”

“Justru karena Mas berpendapat begitu, aku malah bersuka hati menawari Mas untuk berpoligami. Kalau Mas begitu getol ingin kawin lagi, aku malah jadi khawatir..”

Wah, aneh. Tak terpikir sedikitpun, kalau aku akan terjebak dalam suasana begini. Isteri yang kucintai, dan selalu hidup bersamaku dalam susah dan senang, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba memintaku untuk berpoligami.

“Tapi, lihat saja, ekonomi kita sedang begini. Dalam kondisi baik saja, kita hidup miskin dan kekurangan. Bagaimana mungkin aku beristeri lebih dari satu? Kamu ini aneh, Adinda..”

“Ah, soal itu gak perlu khawatir, Mas. Kami tadi sudah mengobrolkannya. Kebetulan, mbak Ratna ini juga lumayan berkecukupan. Ia sudah memiliki rumah sendiri, sudah punya mobil meskipun sederhana, Ia juga punya mini market loh…”

Isteriku berbicara panjang lebar soal Ratna, dan aku hanya mendengarkan dengan patuh. Aku tak bisa berkata-kata. Sulit menjabarkan suasana hatiku saat itu. Karena yang berbicara adalah isteriku. Kalau orang lain, mungkin aku tak ambil peduli sama sekali.

“Kalau mau menikahinya, Mas diminta untuk mengelola mini market miliknya, untuk sumber penghasilan bersama…”

“Tapi jangan salah sangka, Mas. Aku mau Mas menikahinya, bukan karena dia kaya. Tapi aku justru ingin menolongnya. Kasihan, sudah usia 34 tahun, tapi ia belum juga menikah. Tapi, karena kondisinya demikian, bagiku akan lebih mudah merealisasikannya…”

Sampai di situ, aku masih terbungkam. Ketika isteriku menanyakan pendapatku, aku hanya bilang, agar ia menunggu hingga esok hari, karena aku betul-betul kebingungan. Bukan aku tak tertarik dengan Ratna. Apalagi, bila menikahinya justru atas permintaan isteri sendiri. Tapi, aku memang betul-betul blank saat itu.

Semalaman aku tak bisa memejamkan mata. Jam tiga dini hari, aku bangkit dari pembaringan, dan melakukan sholat malam. Aku berdo’a, memohon pilihan kepada Alloh. Satu malam itu, aku tak tidur sama sekali.

Pagi harinya, aku mengajak isteriku ke rumah orang tuaku, dan juga menemui bapak isteriku. Kepada mereka, aku menceritakan permintaan isteriku itu. Tanpa diduga sama sekali, mereka semua setuju. Akhirnya, dengan ringan hati, aku pun menerima tawaran isteriku tersebut…

*****
Aku pun kini beristeri dua. Aku berpoligami, di saat aku betul-betul tak menginginkannya, bahkan tak pernah memikirkan sebelumnya. Setelah menikahi Ratna, aku baru tahu bahwa ternyata keberadaan isteri keduaku itu menjadi obat buat isteriku, atas kematian ibundanya. Satu hal yang tak pernah kubayangkan pula sebelumnya.

Bagi isteriku, Ratna bisa menjadi teman mengobrol, kawan curhat, dan berbagi kasih, seperti yang biasa ia lakukan bersama ibunya. Ratna bisa menjadi pengganti ibunya, dalam dimensi yang sama sekali berbeda tentunya, namun memberikan suntikan rasa yang sama: senang dan bahagia.

Semenjak kami berpoligami, kehidupan rumah tangga kami justru semakin semarak, meriah, dan penuh keceriaan. Isteriku sekarang bahkan terlihat jauh lebih berbahagia, ketimbang saat-saat kami masih hidup berdua, sebelum ibunya wafat. Sering kami berpergian bersama, mengunjungi karib kerabat dari pihakku, pihak Salimah, atau pihak Ratna.

Aku tak lagi bekerja sebagai satpam. Aku sibuk mengurus bisnis keluarga yang Alhamdulillah berjalan dengan baik. Aku tak tahu, apa lagi yang bisa aku ungkapkan kepada pembaca sekalian. Yang jelas, aku tak bisa menyarankan siapapun untuk mengambil langkah, seperti yang aku lakukan. Karena bisa jadi, kondisi kita tak sama, atau bahkan jauh berbeda. Tapi yang jelas, POLIGAMI telah menjadi salah satu sumber kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga kami. Terserah, anda setuju atau tidak….

Sumber: Diketik ulang oleh al Akh Abu Abdillah Huda dari dari buku “Aku Wanita Yang Dipoligami”, Al-Ustadz Abu ‘Umar Basyir

poligami456